"Hujan adalah segala-galanya bagiku. Kau tak mampu membuatku hidup sementara hujan mampu membuatku hidup. Jadi, untuk apa aku pertahankan cintamu? Itu tidak masuk akal!"
Kala langit hitam
dalam gambaran awan kelam. Mereka menangis dan merunduk di emperan pertokoan.
Jikalau petir menyambar-nyambar tiang listrik dalam kegundahan insan. Maka
mereka mengatupkan daun telinganya yang kedinginan. Mereka akan menangis
menekuk wajahnya. Kenapa hujan harus datang memeluk kabut dan menutup
lengkungan janur senja di ufuk Barat? Jikalau tetesnya deras tak beraturan,
maka mereka akan menarik gasnya kencang menerobos tetesan langit yang tak jua
bermuara. Desember musim penghujan.
Sebagian orang akan memasang wajah cemberut
lantaran bagi mereka itu adalah sebuah bencana. Memperlambat kegiatan yang ada.
Mengundurkan rencana. Masuk sekolah selalu terlambat. Alasan hujan. Sepatu
basah enggan memakainya, akhirnya hujan membuahkan hukuman. Pekerja bangunan
masuk angin lantaran dipeluk hujan. Permasalahan kacau jika mandor tahu mereka
beristirahat, sementara proyek pembangunan harus segera diselesaikan. Waktu pun
muram. Pulang kerja kelamaan. Lantaran hujan tak mereda. Anak dan istri pun
dipasung cemas di dalam rumah menanti kegelapan. Hujan adalah sebuah musibah
kecil yang merisaukan. Lagi-lagi hujan dipermasalahkan. Seolah hujan selalu
salah. Tapi kalau kemarau datang, hujan menjadi kerinduan. Entahlah, otak insan
memanglah membingungkan. Katanya di kepala, namun praktiknya di lutut atau
malah di telapak kaki. Hey! Jangan
mempermasalahkan hujan. Tak ada pengadilan yang mau menangani masalah hujan.
Tentulah karena mereka tahu bahwa hujan tak pernah salah. Jadi tak pantas ia
menjadi bahan pokok perbincangan. Hujan dan payung adalah sahabat sejati. Jadi
jikalau kauhadirkan sahabatnya sebelum hujan turun, itu tak akan menguarkan
penderitaan bukan? Itu sebuah argumen
kecil yang telah familiar di endapan siput telinga insan.
Tapi—ada hal yang menarik. Lihatlah
dirimu. Jika hujan turun dari atap Tuhan. Saat jubah langit itu terbentang
dalam balutan awan yang menakutkan. Tatkala petir bersahut-sahutan. Atau bahkan
jikalau angin meniupkan dedaunan kering di angkasa. Dan burung-burung akan
pulang ke sangkarnya. Bumi dilumuri kekelaman saat mereka melangkah
porak-poranda menuju rumah impian, kau malah menyambut hujan dengan penuh
kebahagiaan. Hujan membawa berkah. Hujan adalah sahabat sejatimu. Kau amatlah
bersyukur karena mampu hidup di negara yang memeliki dua musim ini. Saat proses
kondensasi berubah menjadi presipitasi maka kaumelonjat-lonjat
girang. Setiap hari dari bingkai jendela matamu nanar menunggu hujan. Jika
langit sudah disetubuhi awan-awan yang hitam, kaukeluar di halaman rumah.
Berdiri dan berteriak.
"Terimakasih Tuhan, Kauturunkan hujan
hari ini," katamu lalu bersujud syukur. Tak peduli jidadmu kotor dicium
tanah. Tak peduli telapak kakimu dirayapi cacing yang saat ini kauinjak. Tak
peduli tetangga menatapmu gila karena keanehanmu yang bagaikan menjemput
datangnya kekasih saat hujan turun. Kaumenari-nari di pusar halaman rumah.
Bermain riang bersama air. Tak pernah berhenti meski flu merajai kepalamu.
Membuat wajahmu lesu. Lagi-lagi kau terus setia dengan hujan. Kauanggap ia
benar-benar kekasihmu. Sampai tak hiraukan kaudiputus oleh kekasihmu karena
terlalu lama mencumbu hujan.
"Bagaimana
aku bisa hidup dengan pria sepertimu yang tergila-gila dengan hujan? Orangtuaku
akan menganggapku gila. Aku memanglah mencintaimu, tapi jika kamu masih seperti
ini, maaf aku pilih untuk pergi. Tapi—" kekasihmu berhenti berkata. Sejenak ia seka airmatanya.
Kauterpaku menggenggam erat jemarinya. "Aku tetap akan mencintaimu,"
"Kalau
kaumencintaiku, maka pertahankanlah diriku,"
"Tidak bisa,
aku tidak bisa jika kau masih setia dengan hujan!"
"Pergilah,
aku tetap akan setia dengan hujan. Jauhi aku. Aku bukanlah lelaki yang pantas
menjadi sandinganmu, selamanya aku akan mencintai hujan. Aku akan setia dengan
hujan. Karena hujan yang memberiku roh kehidupan. Tumbuhan yang aku makan akan
subur karena hujan, dengannya ia membuatku hidup. Hujan mengalirkan air di
dalam Bumi yang menjadi mataair, dengan itu aku bisa menyerapnya untuk
kehidupan. Minum, mandi, mencuci, jikalau tanpanya aku akan lesu. Tak pantas
aku memiliki perempuan yang tak suka dengan hujan, sebaiknya kaupergi saja.
Hujan adalah segala-galanya bagiku. Hujan pulalah yang bisa membuatku makan.
Mengapa kaumempermasalahkan hujan jikalau kaumencintaiku?" rajukmu dengan menatap
paras kekasihmu yang wajahnya lembut, putih mulus dibaluti bedak dan gincu
merah muda yang baru saja diimpornya kemarin.
"Bukan itu,
tapi dengan caramu makan karena hujan. Aku tidak bisa hidup seperti itu,"
"Sudahlah,
payung adalah sahabat hujan. Dan hujan adalah anugerah bagiku. Pergilah, aku
akan menjalankan rutinitasku saat hujan datang,"
"Tapi aku
masih mencintaimu, apakah kau tak bisa mengerti perasaanku? Kaupilih hujan
daripada aku?"
"Hujan
adalah segala-galanya bagiku. Kau tak mampu membuatku hidup sementara hujan
mampu membuatku hidup. Jadi, untuk apa aku pertahankan cintamu? Itu tidak masuk
akal!"
"Kau
gila!"
"Sebutan
yang menarik. Sekarang KAU PERGI!"
Akhirnya
kekasihmu lari menerobos hujan. Membiarkanmu terpaku dalam keheningan. Dan kini
kau gila di bawah guyuran air hujan mengenang masa lalumu yang amatlah
menyakitkan. Kautepis bayangan tersebut dalam-dalam. Langkah kauberdirikan.
Mengambil payung usai mengganti pakaian basah dan menyamarkannya dengan sweter
tebal. Lantas kaumenyusuri pusat keramaian.
Kaupasang wajah
ceria di pinggiran jalan. Saat mobil-mobil orang kaya berseliweran di depanmu,
di kala sepeda motor main kebut-kebutan, tatkala gelandangan memetik daun
pisang untuk payung, atau di saat pengamen memayungi kepalanya dengan sebuah
kantong keresek hitam, di situlah, tatkala itulah kaumemainkan aksi dengan
kekasihmu hujan. Berharap ada orang yang menyebrang jalan untuk menumpangi
payungmu dengan senyuman atau malah mengajakmu bergurau. Di sana kaukumpulkan
koin-koin seribuan atau uang dua ribuan untuk lembaran tabungan dalam guci
ayammu yang terbuat dari gerabah di rumah. Hujan terus memantul di jalanan. Air
selokan seolah akan tumpah. Di depanmu mall
besar. Sedari tadi belum ada penumpang yang mau memperkerjakan dirimu. Begitupun
kau tak mengeluh, kau tetap tersenyum dengan gelagak ceria. Bahkan terkadang
kaubersiul-siul riang penuh suka. Baru minggu lalu kaudiputuskan kekasihmu yang
mendekati tunangan, namun sama sekali tak ada duka yang mengendap di jiwamu.
Menurutmu hujan adalah obat penawar yang paling mujarab saat ia memejamkan
musim kemarau dalam kegalauan waktu.
"Mas, ke
seberang ya?" pinta seorang gadis bermata sipit dengan rambut sebahu. Ia
memakai drees up merah. Telinganya
digantungi intan dalam bentuk rembulan. Dua kelopak mawar yang tak bertulangnya
dilumuri gincu merah padam. Kain yang dikenakan serupa awan itu menampakkan
lekuk-lekuk tubuhnya. Bau parfume-nya
menyengat. Namun sama sekali kau tak tertarik. Bukan pada kemanisan rupanya
atau senyumnya. Lagi-lagi kau hanya memandang percikan hujan di atas aspal saat
berhenti di samping lampu merah sebelum menyebrang. Hujan adalah seni
menggairahkan yang tak membosankan pandanganmu, bagimu hujan adalah bunga yang
memantul di jejalanan aspal. Dan itu amatlah indah.
"Berapa,
Mas?"
"Seikhlasnya
saja,"
Gadis itu
mengulurkan uang sepuluh ribuan. Kaumengantonginya di baju hemmu yang rapi
dibalut sweter abu-abumu. Bersiap-siap kembali ke tempat yang tadi untuk
mencari penumpang lain.
"Mas,
kembalian sembilan ribunya mana?"
Kauterkekeh
sebelum akhirnya membalik tubuhmu. Kauulurkan uang kembalian dengan kertas dua
puluh ribuan. Tanpa menunggu respon gadis yang sudah masuk ke mobilnya itu lalu
kaulari kembali ke tempat semula sebelum lampu hijau menyala.
"Ojeg payung
itu bodoh, masak sepuluh ribu kembalian dua puluh ribu? Ah dasar tak makan bangku sekolah. Hitung-hitungan tak becus."
Umpat gadis itu dari dalam mobilnya.
Wanita renta
membawa kantung keresek dua melambaikan tangan ke arahmu. Penampilannya tak
istimewa. Sederhana. Rambutnya dibalut kerudung serupa senja. Bajunya menutupi
sampai dada. Ia tak memakai celana. Melainkan memakai rok sampai bawah sana.
Tak hirau air menggenang di kakinya membuat roknya basah dan dilumuri noda. Ia
tetap tak mau menjinjingnya. Entahlah apa sebabnya. Sepertinya ia adalah wanita
yang mulia.
"Nak,
antarkan saya ke toko sebelah," katanya.
"Baik,
Bu." Bergegas kaumenghampirinya dan mengantarkanmu sampai toko seberang.
Sebuah toko buku yang dihiasi dengan pernak-pernik lampu menyambut natal. Indah
mengagumkan retina. Tapi kau tak tertarik. Hanya hujan yang menjadi
perhatianmu.
"Berapa,
Nak?"
"Seikhlasnya
saja," masih setia dengan ucapanmu yang awal. Selalu seperti itu jika
kauditanya berapa uang yang harus dibayar untuk menghargai jasamu.
Wanita itu
menyodorkan uang lima ribuan.
"Minta
kembalian tidak, Bu?"
"Tidak.
Simpanlah sisanya untuk jajan," katanya. Benarlah dugaanmu. Tampilan luar
ternyata serupa tampilan dalam jiwanya. Ia tersenyum dan mengucapkan banyak
terimakasih kepadamu.
Hujan terus
bersahut-sahutan dengan guntur yang suaranya menjelegar. Membuat jantung renta
bergoyang-goyang tak beraturan. Awan berarak-arak menggelapkan nuansa indah.
Mentari dikubur ketakutan. Kautersenyum. Lengkung bibirmu malah bertambah
jelas. Semakin ramailah orang yang membutuhkan ojeg payungmu.
Tiga jam berlalu.
Hujan sirna. Langit perlahan menerang. Awan hitam pulang. Tetesan hujan tinggal
tersisa di atas abses pertokoan. Air selokan tak lagi tumpah ke jalanan.
Mentari yang tadi dikubur ketakutan, kini menyembul di balik awan putih.
Wajahnya ceria sangat. Udara segar. Membunuh polusi meski hanya sementara
waktu. Kaupulang dengan wajah yang sangatlah ceria. Hari ini hujan
menguntungkan. Uang yang kau dapat kaumasukkan ke tabungan. Begitulah
kegiatanmu saat hujan terus turun. Dan terpaksa pekerjaan bersama kekasih
hatimu hujan itu harus sirna. Lantaran Februari musim kemarau menyambut di
ambang cakrawala. Apakah kaumenangis karena ditinggalkan kekasihmu? Tidak. Kau
tetaplah tersenyum. Saat kemarau datang. Lantas kaubongkar semua tabunganmu.
Kaukumpulkan dalam kantong tanpa menghitungnya
terlebih dahulu. Hujan berlalu jadi pekerjaanmu mendapatkan cuti
sejenak. Di musim hujan yang akan datang kau akan kembali seperti itu. Bekerja
sebagai ojeg payung yang mulia.
Senja mekar di
dunia Barat. Kala ini kauberjalan menuju sebuah yayasan sederhana yang ada di
dekat rumahmu. Di situ kauberikan semua tabungan hasil mengojek hujanmu kepada
para anak yatim piatu. Hujan membawa berkah bagi mereka.
"Bu, saya
punya tabungan untuk anak-anak yatim piatu, pergunakan dengan baik-baik ya,
Bu?"
Pemilik panti
tersenyum manis. Kau lalu berjalan pulang ke tempat kerjaanmu seperti dahulu.
Sebuah restoran besar yang ada di pusat kota. Saat hujan kaubermain-main dengan
hujan. Saat kemarau datang kauberlibur dahulu di kursi presdir restoran.
"Bagaimana
restoran ini sewaktu musim hujan? Apakah ramai?"
"Iya, Tuan.
Saat musim hujan. Banyak penumpang yang mampir di restoran kita." Kata
seorang waiter. Anak buah yang
amatlah menghormatimu.
"Hujan
memang membuatku mampu makan. Aku senang sekali jika hujan datang," katamu
lagi seraya menatap lurus ke jendela menyaksikan tenggelamnya mentari.
"Kekasihku
pikir aku hanyalah tukang ojeg payung. Hmmm...
dia tak lain gadis matre yang mencari lelaki dari uangnya bukan dari usahanya.
Aku senang, hujan menyadarkanku agar tidak gila karena cinta," lanjutmu
seiring menyunggingnya senyummu.
°°°°°°°°°°
Cerpen Oleh DM
Sy juga penulis cerpen min. Sy biasa jalan2 ke blog2 cerpen cari inspirasi tulisan. Sulitnya yaa nulis sebuah cerpen butuh waktu biar cerita lebih menarik butuh keseriusan. Coba jalan2 ke blogku jg min ya. Search aja salah satu cerpen di blog ku "BALADA PILU". Saya tunggu sarannya min.
BalasHapus