Sakura Mekar Di Langit

Bertarung Ala Jepang

Arakan awan hitam akhirnya menebar hujan, ditingkahi amukan angin. Tetesan-tetesannya yang lebat bimbang dengan arah, hingga akhirnya menghujam aspal, kemudian memercik ke mana-mana. Semua dahan dan ranting meliuk-liuk. Dedaunan yang tanggal langsung terbang tersapu angin. Jalan raya sepi di sore ini. Lengangnya membuat beberapa kendaraan bermotor melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah sedan tanpa ampun menyibak genangan air di pinggir jalan, menimbulkan cipratan besar yang mengarah ke orang-orang yang sedang berteduh di depan toko, membuat seorang lelaki gendut mengumpat sambil mengepalkan tangannya ke udara.

Pandanganku tiba-tiba menangkap sesosok lelaki kekar tinggi yang baru saja turun dari boncengan sepeda motor. Pengendaranya berlalu meninggalkannya dalam guyuran hujan. Ia berjalan santai ke arahku tanpa peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup. Ia adalah Robert. Semua anak nongkrong dan tukang parkir di kawasan ini mengenalnya. Tak ada yang berani mengusiknya. Berurusan dengannya sama saja mengundang petaka. Mau apa dia datang ke sini?

"Hai, Bro!" sapanya ramah.

"Ngapain lo ke sini?" tanyaku dengan memasang muka masam.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia justru asyik memilin tindik di telinganya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru pelataran parkir tempat kubekerja.
"Parkiran ini punya Super Market. Kagak bisa lo usik!" kataku memperingatkan.
"Woles, Bro! Gue ikut seneng lo udah makmur di sini," ujarnya. "Setoran apa gaji?"
Aku tak menggubris pertanyannya. Aku malah meninggalkannya ketika kulihat sepasang muda-mudi baru saja keluar dari dalam toko. Mereka menerabas hujan menuju sepeda motornya. Aku mendekatinya, tak lama kemudian si lelaki memberiku uang selembar ribuan. Setelah mengenakan jas hujan, mereka melajukan motor meninggalkan parkiran.
Aku kembali ke pos.  Tempat dudukku sudah dikuasai Robet. Ia buru-buru mengembalikannya padaku ketika aku memberi isyarat padanya untuk menyingkir.
"Ngga mangkal, lo?" tanyaku ketus. Aku punya firasat ia akan mengusik kenyamanan yang baru saja kudapat.

"Lahan gue direbut Achonk," jawabnya dengan muka sedih.
"Bukannya Achonk itu temen lo?" aku balik bertanya.
Ia menggeleng lemah. "Itu dulu. Sekarang dia punya gank besar."
"Itu hukum karma!" selorohku.
Ia garuk-garuk kepala. "Lo masih sakit hati?"
Aku menatapnya tajam. "Kalah duel bagi gue hal biasa. Yang bikin gue ngga terima adalah lo semua beraninya keroyokan!"
"Hukum jalanan emang seperti itu. Hanya tentang siapa yang bisa berdiri terakhir, bukan pertandingan ala samurai," ucapnya santai. Kulihat pipinya lebam-lebam. Pelipisnya koyak. 

Bibirnya membengkak. Sepertinya ia belum lama bertarung.
"Terus, lo ke sini ngapain?" tanyaku sedikit mengendurkan setelan ketusku.
"Gue mau minta tolong sama lo," jawabnya. "Lebih tepatnya kerja sama."
"Maksudnya?"
"Bantu gue balikin lahan!" jawabnya sambil menatapku penuh harap.
"Lo mau ngadu gue sama Achonk? Gila lo!"
Robet mendesah panjang. Ibu jarinya mengusap bibir bawahnya yang bentuknya sudah tidak keruan.

"Gue aja kalah sama lo. Mana berani gue sama Achonk yang udah ngalahin lo," lanjutku berujar.

"Cuma lo satu-satunya harapan gue buat ngalahin Achonk!" bujuk Robet.
Aku menggeleng. "Gue udah ngga mau berantem lagi. Capek jadi preman terus. Gue mau hidup tertib. Lagian bantuin lo itu ide gila. Lo pernah ngerampok lahan gue."
"Soal itu, gue minta maaf," ucap robet. "Sekarang gue kasih penawaran sama lo. Kalau lo bisa ngalahin Robet, lo tiap hari gue kasih jatah."
Aku terbahak-bahak. Lucu sekali mendengar Robet meminta maaf. Sejak jaman Westerling jerawatan sampai jaman Osama bin Laden sakit gigi, baru kali ini kudengar ada preman minta maaf.

"Please..!" bujuk Robet kembali.

Aku muak melihat tampang Robet. Selama ini aku berusaha melupakannya. Kini ketika hampir berhasil, tanpa diundang ia malah datang. Muka kriminalnya membuka luka lama. Meski aku tak dendam tapi sulit bagiku memaafkan perbuatannya yang hampir membuat nyawaku melayang. Kini tanpa malu ia datang padaku mengajak kerjasama.
"Gue siap ngalahin Achonk. Dan gue ngga butuh jatah dari lo. Justru gue yang ngasih jatah lo!" kataku.
"Maksudnya?"

"Gue bosnya!"

Alis Robet terangkat. Pandangannya kosong. Ia pasti tak mengira aku akan mengajukan syarat seperti itu.

"Deal?" tanyaku sambil mengulurkan tangan. "Jika tidak, lo boleh pergi sekarang!"
Robet berpikir sejenak, setelah itu ia menjabat tanganku. "Syarat yang berat, tapi ngga papaDeal!"

"Kalau lo macem-macem gue bisa lebih kejam dari lo!" ancamku kepadanya. Ia mengangguk tanpa berani memandangku.

Setahun sebelumnya.
Aku menyandarkan tubuhku di tiang rambu lalu lintas yang terpancang di ujung pembatas jalan. Di sini aku mengais recehan rupiah sebagai pengatur jalan untuk memudahkan kendaraan yang akan berputar arah. Istilah kerennya polisi cepek. Aku tak pernah memberi tarif tertentu. Kuterima berapa pun rupiah yang mereka berikan. Ada yang pernah memberi sampai sepuluh ribu, ada juga yang tak memberi sepeser pun. Namun kebanyakan mereka memberiku lima ratus rupiah.

Bus mini angkutan dalam kota adalah kendaraan yang paling sering berputar arah di sini. Mereka malas masuk terminal. Di samping menghindari macet juga karena sedikit sekali penumpang dalam kota yang masuk terminal.

Dulu ini wilayah kekuasaan Gareng, seorang preman kawakan yang kerap berurusan dengan penegak hukum. Sejak ia ditangkap karena tuduhan pembunuhan berencana, tempat ini menjadi sepi. Tak ada yang berani mengambil alih tempat ini karena takut akan diinterogasi polisi. Aku berani melakukannya karena Gareng sendiri yang menyuruhku.
"Woi!" sebuah tepukan di bahuku membuyarkan lamunanku. Robet dan tiga temannya tahu-tahu sudah ada di dekatku. Mereka memepetku.
"Eh, lo ternyata, Bet!" ujarku seraya melepaskan diri dari kepungan mereka. Terlambat! Robet memasang badannya. Ketiga temannya menutup gerakku di belakang dan kanan kiriku.

"Lo itu pendatang. Berani-beraninya ngambil lahan ini tanpa izin. Merasa jagoan lo?" hardik Robet.

"Gue disuruh sama Gareng," kataku menjelaskan.

Cuih! Robet meludah ke samping. "Gareng sebentar lagi mampus dihukum mati kalau grasinya ditolak presiden. Sekarang wilayah ini milik gue!" kepala Robet di majukan tepat beberapa senti dari wajahku. Matanya melotot penuh provokatif. Mulutnya bau alkohol. Aku sampai mau muntah karenanya.

"Lo boleh gabung sama gue," tawarku yang disambut tawa Robet dan ketiga temannya.
"Begitu ya?" tanyanya sambil menyeringai. "Kalau gue ngga mau?"
"Terserah kalau lo ngga mau. Gue ngga mau ninggalin tempat ini," kataku sambil bersiap jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
"Terserah gue?" tanya Robet sambil kedua tangannya mengangkat kaosku ke atas. Satu temannya yang berada di belakangku melingkarkan tangannya di leherku. Aku meronta, berusaha melepaskan diri. Kedua temannya yang berada di sampingku mengunci sepasang lenganku.

Buk!

Kepalan tinju Robet mendarat persis di bawah ulu hatiku. Perutku langsung terasa mual. Ia mengayunkan kembali kepalan tangannya, mengarah ke rahangku. Dengan sigap aku menghujamkan lututku tepat di kemaluannya. Ia mengaduh lantas roboh. Ketiga temannya bereaksi dengan menghajarku ramai-ramai. Aku menunduk sambil melindungi kepala bagian belakang menggunakan telapak tanganku. Robet bangkit lantas ikut memukuliku secara membabibuta. Bertubi-tubi tendangan dan pukulan mereka mengenai badanku. Sebelum roboh aku segera melepaskan diri. Kuseberangi jalan tanpa menoleh kanan kiri. Sebuh truk gandengan membunyikan klakson. Tubuhku hanya berjarak beberapa meter dari truk tersebut.

Ciiiittt! Truk mengerem seraya membelokan arahnya ke kiri, menghindariku yang berlari dengan sisa-sisa tenaga. Aku terjerembab akibat terantuk tepian trotoar. Aku memang selamat dari maut namun badanku bergulingan di tanah. Meski tertatih, aku berusaha bangkit, lantas berlari menghindari kejaran Robet dan teman-temannya.
*****


Bau sampah yang mulai membusuk memaksaku untuk menutup hidung. Tak ada jalan lain menuju tempat nongkrong Achonk selain jalan belakang pasar. Sialnya, aku harus melewati tumpukan sampah basah. Herannya warga di belakang pasar ini betah tinggal di sekitar sini. Mungkin karena sudah terbiasa.

Gardu pos ronda di ujung belakang pasar tinggal berjarak kurang dari seratus meter. Di sana biasanya Achonk nongkrong pada siang hari. Ada keraguan menyelinap di dinding hati, apakah akan meneruskan langkah atau pulang tanpa hasil. Jika aku melawan Achonk dengan kekerasan, sudah pasti aku kalah. Jangankan dikeroyok anak buahnya, duel satu lawan satu dengan Achonk pun tak ada kemungkinan menang. Badannya tinggi kekar seperti Robet, bedanya Achonk lebih mahir bela diri. Hebatnya lagi, konon ia punya ilmu kebal senjata tajam.

"Hahay siapa itu yang datang?" seorang anak buah Achonk menyongsongku. Semua yang berada di gardu melirik kepadaku. Ada Achonk yang sedang dipijit dan empat anak buah lainnya sedang main kartu.

Aku tak mungkin mundur setelah sampai di tujuan. Apa pun yang terjadi aku harus menemui Achonk, meminta kembali hakku, lantas pulang. Menurut perhitungan matematika aku pasti kalah. Logikanya, Achonk bisa mengalahkan Robet dengan adu kekuatan jumlah pasukan, berarti aku akan kalah, karena aku dengan mudah dikalahkan Robet. Aku tak punya anak buah seperti mereka, tapi aku punya kekuatan yang tak dimiliki mereka. Itulah alasan kenapa aku berani menghadapi Achonk.

"Gue mau ketemu sama Achonk!" kataku begitu sampai di depan gardu. Orang yang kucari bangkit dari tengkurapnya. Masih dengan telanjang dada ia mendekatiku.

"Ada apa?" tanya Achonk garang. Semua anak buahnya merangsek mendekatiku, namun 

Achonk mencegahnya, bahkan ia menyuruh mereka untuk mundur.
"Gue ada urusan sama lo. Cuman kita berdua. Gue tunggu lo di depan parkiran pasar," jawabku sedikit gemetar.

"Urusan apa?"

"Lahan!"

Semua anak buah Achonk bereaksi. Mereka mengepungku. Lagi-lagi Achonk mencegahnya.

"Tungguin gue di parkiran pasar!" katanya sambil memberi isyarat kepada anak buahnya untuk kembali ke gardu.

Aku pergi ke area parkir pasar. Setelah menunggu sekitar lima menit, akhirnya Achong datang sendirian.
*****


"Gimana caranya lo bisa ngalahin Achonk?" tanya Robet setelah kukatakan kepadanya bahwa lahanku sudah kembali.

Tanganku mencengkeram kerah baju Robet. "Kalau lo macem-macem lagi sama gue, gue habisin lo di depan rumah lo. Gue memang pendatang, tapi gue ngga pernah ngusik kalian."
"O-oke! Gue paham. Tapi tolong lepasin baju gue," rengeknya ketakutan.

"Soal pertanyaan lo, gue jawab itu bukan urusan lo. Tugas lo jaga tuh lahan. Sesuai kesepakatan, tiap hari lo gue kasih jatah. Paham?"

Robet mengangguk penuh keterpaksaan. Aku tak akan pernah mengatakan kepadanya bahwa aku mengalahkan Achonk dengan jurus jankepon. Itu adalah gamsuit ala Jepang, yang di Indonesia terkenal dengan batu-gunting-kertas. Robet ibarat batu yang lebih kuat dari Achong. Sedangkan aku ibarat kertas, yang meskipun kalah dari gunting tapi bisa mengalahkan batu karena bisa menutupinya. Achong yang kuat laksana batu hanya bisa dikalahkan dengan menyentuh hatinya. Aku jelaskan padanya bahwa kakaknya sudah memberiku amanat untuk menjaga lahan itu, dan aku meminta kepadanya untuk membantuku menjaga amanat tersebut. Setelah kami berdebat panjang, akhirnya ia mengembalikan lahan tersebut. Ia mengalah demi kakaknya yang jika grasinya ditolak akan dieksekusi mati. Satu hal yang membuatku yakin tidak akan terjadi pertarungan fisik adalah Gareng pernah berpesan kepada kami berdua untuk saling mendukung.

Cerpen oleh Akhmad AL Hasni

0 Response to "Bertarung Ala Jepang"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.