Sakura Mekar Di Langit

Perdagangan Manusia

Stop human traficking

Langit muram, hanya menyisakan beberapa gelintir bintang. Rembulan pucat pasi, bersembunyi di balik awan. Angin serasa berhenti, di sebuah kawasan lapangan tembak, di tepi sebuah hutan yang perawan. Lapangan yang biasanya untuk latihan menembak tentara tersebut juga berfungsi sebagai tempat eksekusi hukuman mati, seperti yang sedang berlangsung dini hari ini.

Satu regu tembak bersiap di posisi  masing-masing, berjarak hanya hitungan langkah darimu. Sepuluh lelaki berseragam dengan senapan otomatis terkokang, memusatkan pandangan kepadamu dalam kebisuan. Seorang jaksa eksekutor berkali-kali melirik arloji, raut mukanya tak mampu menyembunyikan ketegangan. Di sampingnya, seorang komandan regu tembak berdiri tegap, mengawasi anak buahnya, memastikan semuanya siap.

Kau berdiri membelakangi tiang kayu, kedua tanganmu terborgol di sana. Kain hitam membungkus kepalamu sebatas leher. Semuanya tampak gelap, hanya derik jangkrik dan langkah-langkah kaki yang tertangkap telingamu. Yang ada di benakmu saat ini hanyalah menyebut nama Tuhan, meminta pengampunan-Nya dan berdoa agar bahagia di kehidupan setelah kematianmu.

Beberapa menit, atau bahkan hitungan detik ke depan merupakan waktu termahal dalam hidupmu. Tak ada kesempatan lagi untuk mengeluh atas ketidakadilan hukum dunia, tak berguna lagi mengutuk nama-nama orang yang mengantarkanmu hingga ke titik ini, semua itu sudah tak penting lagi. Seluruh jiwa telah kau pasrahkan kepada Yang maha adil, Dzat yang menghidupkan dan mematikan, Pencipta semesta alam.
Jaksa eksekutor memberi perintah kepada komandan regu untuk memulai eksekusi. Komandan regu memberi aba-aba kepada pasukannya. Suaranya mengguncang dadamu, serasa akan mencopot jantungmu. Serentak semua pasukan membidik sasaran tembak, semua fokus menunggu perintah selanjutnya.

Keringat dingin mengucur deras dari setiap pori-porimu. Denyut jantungmu berlomba dengan deru napas, semakin cepat, membuat tubuhmu berguncang hebat. Lidahmu bergetar, tanpa putus melafalkan nama Tuhan. Kau pejamkan mata kuat-kuat, ketakutan bertemu malaikat maut memuncak, begitu takutnya sampai telingamu tak bisa mendengar suara komandan regu yang menginstruksikan kepada anggotanya untuk menembak.
Dorr!”

6 bulan sebelum eksekusi.
“Masih ada grasi,“ kata Pak Situmorang dengan logat Bataknya yang kental. Pria tinggi besar bermata tajam itu menepuk pundakmu. Pengacara berusia 60 tahun tersebut dengan suka rela mendampingi proses hukum sejak kau di tetapkan menjadi tersangka.
Kau menggeleng lemah. “Meminta pengampunan sama saja mengakui kejahatan yang tak kulakukan.”

“Saya tahu kau tak bersalah, tapi tidak mengajukannya juga dianggap menerima putusan hukum.”

Kau menghela napas berat. “Saya tak percaya lagi dengan hukum dunia.”
“Anak muda,” Pak Situmorang merengkuh sepasang lenganmu. Tatapannya melekat di sepasang mata nanarmu. “Beri kesempatan padaku untuk membuktikan padamu bahwa Tuhan tak pernah tidur. Dunia ini dalam genggaman-Nya, mudah sekali bagi-Nya untuk memberimu keadilan di dunia. Kau hanya harus percaya. Pesimis tak akan mengubah apa pun.”

Kau menghela napas. “Biarlah kucari keadilan yang hakiki saja. Itu hanya akan kudapatkan di hari pembalasan kelak.”

Pak Situmorang menatapmu pasrah.

11 bulan sebelum eksekusi.
Belasan orang dari media cetak masa mengerubungimu yang baru saja selesai menjalani persidangan. Kamera-kamera menyorot, lampu-lampu blitz silih berganti menerpa wajahmu. Kau bersama tim pengacara berjalan merangsek dikawal petugas, meninggalkan gedung pengadilan. Sebuah mobil tahanan telah menunggu, tak jauh sebenarnya, namun kerumunan para pencari berita menghambat laju jalanmu.

Lontaran pertanyaan bertubi-tubi dilemparkan kepada Pak Situmorang, terdengar seperti keriuhan di tempat pelelangan ikan. Semua ingin didengar, semua bertanya dengan nada keras. Ia hanya memasang senyum, mengunci mulutnya rapat-rapat sambil terus berjalan, tak peduli meski intonasi setiap pertanyan semakin meninggi, tak ubahnya seperti teriakan.
Pak Situmorang adalah pengendali situasi paling piawai. Tak mudah terprovokasi, namun saat yang tepat ia akan bicara dengan ketenangan yang luar biasa, sesekali ia berapi-api layaknya orator ulung. Kau beruntung mendapatkan pembelaan hukum darinya, tanpa perlu membayar. Pak Situmorang sendirilah yang menawarkan diri. Sebagai pengacara handal, tersohor dan kaya, ia tak membutuhkan rupiah darimu. Ia hanya terpanggil untuk mengungkap kasus besar di balik dakwaan terhadapmu.

Kau terus mengekor kepada Pak Situmorang, berjalan pelan, menyibak lautan manusia. Tiba-tiba Pak Situmorang berhenti, ia melirik ke seorang wartawati cantik bertubuh mungil yang pertanyaannya baru saja memancing intelektualnya. Pastilah itu bukan pertanyaan biasa, karena sanggup membuyarkan ketenangannya.

“Tuntutan jaksa tidak berdasar sama sekali. Klien saya adalah korban perdagangan manusia. Ada titik terang mengenai kasus ini. Kita lihat saja nanti,” ucap Pak Situmorang geram.

Pertanyaan-pertanyaan kembali di alamatkan kepada Pak Situmorang, namun ia hanya menjawab dengan senyum sambil meneruskan langkah untuk mengantarmu menuju mobil tahanan.

18 bulan sebelum eksekusi.
Kau tak mengerti kenapa dua orang petugas keamanan bandara mengapitmu, menyeretmu memasuki sebuah ruangan. Mereka meninggalkanmu, setelah kau berada dalam ruangan yang cukup luas. Seorang petugas berbadan kekar terbungkus jaket hitam menyuruhmu duduk. Mata tajamnya menyisir tubuhmu dengan pandangan menyelidik. Di sebelahnya seorang berseragam cokelat melirikmu sebentar, sambil tetap menempatkan jari-jarinya di keyboard komputer.

“Saudara tahu kenapa dipanggil ke ruangan ini?” tanya lelaki berjaket hitam.
“Tidak,” jawabmu masih bingung dengan situasi.

Seorang berseragam cokelat lain yang berdiri di belakang lelaki berjaket hitam meletakkan koper di atas meja.

“Apa benar ini punya saudara?” tanya lelaki berjaket hitam.
“Ya benar,” jawabmu. Kau memandang koper abu-abu penuh keheranan. Serta merta kau sadar ada sesuatu tengah menyulitkanmu.

“Saya minta saudara membukanya. Kami mencurigai ada sesuatu yang ilegal berada di dalamnya.”

Kau menatap bimbang lelaki di hadapanmu. Meski kau yakin bisa mementahkan dugaan lelaki di hadapanmu, namun tetap saja gugup.
“Silakan dibuka. Tolong keluarkan isinya satu per satu.”
Gemetar jarimu memutar angka kombinasi. Dadamu berdegub kencang, menyibak bagian atas koper. Masih tak ada yang janggal di dalamnya, hanya beberapa setelan baju dan buku-buku. Kau keluarkan semua isinya, tak menyisakan sesuatu apa pun.

Lelaki berjaket hitam tak tertarik dengan isi kopermu. Ia mengamati dengan teliti sisi dalam koper, meraba-raba, mengetuk-etuk, memencet, dan mengguncang-guncangkannya. Kemudian ia mengambil cutter, setelah melirikmu sebentar, ia mengiris tepian lapisan dalam koper dengan hati-hati.

Matamu terbelalak ketika dari dalam lapisan itu menyeruak beberapa amplop dari almunium foil. Jantungmu berdertak kencang. Rasa takut menjalar di hatimu. Terbayang masalah besar akan menimpamu.

Kau tak habis pikir kenapa bisa ada sesuatu di dalam lapisan koper itu. Siapa yang meletakan barang-barang itu di sana? Apa pula motifnya? Kenapa harus ada masalah ini? Tanyamu dalam hati. Jelas ini fitnah, jebakan atau semacamnya. Kau mengusap dahimu yang mulai berkeringat.

Lelaki berjaket hitam mengeluarkan sembilan amplop kemudian membuka isinya satu persatu.

“Ini heroin,” ucap lelaki berjaket hitam kepadamu.

Seketika bergetar tubuhmu tubuhmu. “Saya tak tahu menahu soal barang itu. Ini jebakan! Ini fitnah!”

19 bulan sebelum eksekusi.
Lima menit sudah kau duduk di food court sebuah mall, menunggu seseorang yang berjanji akan menyerahkan dokumen-dokumen penting sore ini. Ini hari yang mendebarkan, saat-saat penting dalam hidupmu. Keluarnya visa berarti ada kepastian bekerja di luar negeri. Ingin kau rayakan dengan memesan seporsi nasi goreng dan segelas es jeruk, nanti setelah semuanya pasti.

Kau percaya, perusahaan yang merekrutmu bekerja di luar negeri adalah perusahaan terpercaya. Semua proses, kau lalui dengan mudah tanpa biaya sepeser pun. Tak sampai sebulan sejak kau mendaftar, visa segera keluar. Pengurusan dokumen dan biaya-biaya lainnya juga ditanggung perusahaan. Betapa mengagumkan perusahaan itu di matamu, sangat berbeda dengan beberapa perusahaan jasa tenaga kerja luar negeri lainnya.

Kau sangat bersemangat melewati momen indah ini, begitu bersemangatnya sehingga kau datang seperempat jam lebih awal dari yang mereka janjikan. Dan, ternyata kau tak perlu menunggu lebih lama lagi karena tiba-tiba seseorang lelaki gemuk berkaca mata hitam tanpa basa-basi duduk di sebelahmu sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat. Kau langsung paham bahwa ia kurir perusahaan.

“Lebih cepat dari yang dijanjikan ternyata,” ujarmu kepada kurir perusahaan itu. Basa-basimu tak menarik hatinya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, tak ubahnya seperti robot.
“Dicek lagi surat-suratnya, semuanya sudah siap,” suruhnya dengan nada lebih datar dari mimiknya. “Sementara baru visa kunjungan, visa kerja masih dalam proses, nanti kalau sudah sampai Singapura, kami kabari. Yang penting adalah bisa terbang dulu, setibanya di Changi nanti kami jemput.”

Kau membuka amplop cokelat. Semua dokumen yang di perlukan kau cek dengan teliti. Sempurna! Bekerja di luar negeri yang gajinya berlipat-lipat dengan proses mudah dan cepat. Kau bahkan tak perlu menginjakan kaki di kantor perusahaan yang mengurus pekerjaanmu. Tak pernah berurusan dengan kantor keimigrasian, check medical, semuanya diantar jemput.

“Ini koper yang harus kau bawa. Ini akan memudahkanmu berhubungan dengan orang kami di sana.” Lelaki gemuk berkaca mata hitam itu meletakkan tas di atas meja. Dengan cekatan ia memutar angka kombinasi, lalu terbukalah koper yang masih baru tersebut. Di dalamnya masih kosong, hanya terdapat secarik kertas berisi enam digit angka. “Ini kode untuk membuka koper. Sengaja saya catat biar kau tidak lupa.”

Matamu berbinar-binar. Separuh jiwamu seolah telah sampai ke Singapura, melayang meninggalkan semua beban berat yang telah bertahun-tahun menghimpitmu. Hidup sebatangkara, tanpa memiliki tempat tinggal. Kau yang sudah yatim piatu sejak balita dipaksa hidup serba kekurangan bersama nenekmu. Ketika usiamu masih belia, kau harus putus sekolah dan bekerja layaknya orang dewasa. Dan sejak nenekmu meninggal, rumah yang telah belasan tahun mengayomimu terpaksa kau tinggalkan karena merupakan warisan yang harus dibagi. Paman-pamanmu menjualnya, tanpa mempertimbangkan nasibmu.

Delapan belas tahun usiamu kini, masih panjang masa untuk keluar dari kesulitan hidup, menggantungkan harapan di negeri tetangga, mencoba membalikan keadaan ke posisi yang lebih baik.

1 bulan setelah eksekusi
Jaringan besar perdagangan manusia lintas negara terungkap. Beberapa pelaku tertangkap di sebuah rumah besar yang menjadi pusat pengendali trafficking di negeri ini. Terungkap sudah kejahatan penyelundupan manusia. Sudah ratusan korban yang dijanjikan bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar, namun ternyata dipaksa menjadi pelacur, diperalat menjadi pengedar narkoba, bahkan bebarapa diantaranya diperlakukan layaknya budak. Memang sudah terlambat, terbongkarnya kejahatan itu tak bisa menghidupkanmu kembali, namun ini menjadi momentum untuk mencegah lebih banyak lagi korban.

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

1 Response to "Perdagangan Manusia"

Diberdayakan oleh Blogger.