Sakura Mekar Di Langit

210 Detik

Cerpen 210 Detik oleh Akhmad Al Hasni

210 detik sebelum lampu hijau menyala.
Ada yang aneh dengan penghitung mundur digital yang tergantung di bawah trafficklight. Durasi yang biasanya hanya 120 detik kini menjadi 210 detik. Menggelikan! Rupanya tak hanya sembako saja yang naik.

Hey! Kamu di mana? Aku mencarimu yang selalu memakai topi terbalik untuk menyembunyikan rambut pendekmu. Topi bertuliskan Linkin Park menambah kesan manis padamu. Penutup kepala itu sangat serasi dengan wajah bundarmu. Apalagi pipimu yang chubby, bikin aku gemas.

Kamu tentu tak tahu jika aku selalu memerhatikan gerak-gerikmu dari dalam mobil, pandanganku mengikuti kemana pun kakimu melangkah, berjalan di sela kendaraan yang sedang berhenti, menawarkan beraneka minuman berbungkus plastik. Suaramu lantang, bersaing dengan deruman suara knalpot dan raungan klakson.
Aku selalu membeli kopi bungkusan darimu. Sebenarnya kopi yang kau jual rasanya biasa-biasa saja, kadang hambar dan dingin. Minuman itu hanya cara agar aku bisa memandangmu lebih dekat. Aku lebih tertarik menikmati kelincahan tubuh sintalmu yang terbalut kaos dan jeans ketat. Atau memandang mimik datarmu yang penuh misteri. Namun yang paling kusuka adalah sepasang mata hazel-mu. Betapa aku tersihir warnanya yang merah kecokelatan, kombinasi dari hamburan rayleigh dan sejumlah melanin di lapisan perbatasan depan iris. Konon warna mata itu menggambarkan sosok orang yang bersemangat tinggi, enerjik, petualang, pejuang sejati dan ambisius.
Kadang aku merasa aneh sendiri jika mengingat percakapan-percakapan singkat denganmu setiap kali kita bertemu di sini.

"Berapa, Dik?"

"Dua ribu."

"Maksudku berapa usiamu?"

"Apa urusanmu tanya umur segala?"

"Galak amat!"

"Jadi beli ngga nih?"

Playboy amatiran sepertiku sudah pasti tak mudah menyerah. Makin galak, kamu makin menarik. Lain kesempatan aku menggodamu lagi.

"Kopi yang semanis kamu ada ngga?"

"Ada. Butuh berapa?"

"Satu aja untuk menghangatkan hatiku yang gundah gulana."

"Pret! Nih kopinya. Harganya lima puluh ribu."

Pernah suatu kali aku membeli kopi. Kuberi kau pecahan sepuluh ribuan. Saat kau masih sibuk mengambil uang kembalian, lampu hijau menyala. Terpaksa kuinjak pedal gas, meninggalkanmu yang masih berada di perempatan. Besoknya, kau berikan sisa uangku yang ada padamu. Ternyata kau jujur.

"Simpan saja," kataku menolak.

Mata hazel-mu melotot. "Ngga usah belagu deh!"

"Okey! Kasih kopi saja semua."

"Habis."

"Teh juga ngga papa."

"Habis juga. Tinggal es teh."

Aku garuk-garuk kepala. Aku kurang suka minuman dingin.
Kau meletakan uang di dashboard. "Belikan shampo anti ketombe saja." katamu sambil ngeloyor pergi.

Selera humormu lumayan juga. Aku jadi makin tertarik denganmu. Bukan jatuh cinta lho! Hanya penasaran saja, kenapa cewek semanis dan sebahenol kamu menjadi tukang asongan. Aku berani bertaruh, jika dipermak sedemikian rupa, pasti kau tak kalah cantik dengan Cinta Laura.

Kuperkirakan usiamu masih belasan. Jika sekolah, mungkin kau sudah kelas 11 atau 12. Seharusnya kau bisa mendapatkan pendidikan yang layak, tapi faktanya setiap hari kau di jalan. Banyak sekali anak-anak seusiamu yang putus sekolah, bahkan tidak sedikit yang sama sekali tak mengenyamnya.

Entah kenapa kau mengalihkan pembicaraan ketika kusinggung masalah sekolah. Apakah bangku pendidikan tak terlalu penting bagimu? Atau kau merasa percuma membicarakannya karena itu seperti mimpi bagimu?

"Kamu ngga sekolah?"

Kau seperti tak mendengar pertanyaanku. "Beli kopi ngga?"

"Ya, seperti biasa," jawabku. "Kamu ngga ingin sekolah?"

"Dua ribu, seperti biasa. Uang pas saja."

Aku memberimu uang lima ribu. "Kalau ada beasiswa, kamu mau sekolah?"
"Aku bilang uang pas!"

135 detik sebelum lampu hijau menyala.
Baru kusadari, ternyata bukan hanya kau saja, orang-orang yang biasa mengais rupiah di perempatan ini juga tak tampak satu pun. Di setiap trafficklight ada petugas berseragam. Serta merta ingatanku melayang ke berita di koran kemarin. Pemberlakuan PERDA KETERTIBAN UMUM menjadi headline surat kabar. Pro-kontra pun menimbulkan polemik.
Sepertinya kau dan yang lainnya takut dianggap melawan  jika masih meneruskan usaha di sini. Kalian dianggap mengganggu ketertiban umum. Sangsi tegas menunggu bagi siapa saja yang melanggar Peraturan Daerah tersebut.

Kurasakan memang sedikit nyaman tanpa kalian–kamu pengecualian. Biasanya para pedagang asongan bertebaran menjemput pembeli. Pengamen, pengemis, pengelap mobil dan kadang pencopet, menjadikan pengendara yang mengular panjang sebagai lahan. Sekarang keadaan lebih tertib dari sebelumnya.

Tak ada lagi wanita yang menggendong balita sambil menadahkan tangan. Kadang aku iba melihatnya, apalagi jika anak yang ia gendong menangis. Aku membayangkan jika anak itu adalah aku yang sedang digendong ibu. Kadang juga aku menyesalkan tindakannya yang tega membawa anak kecil di bawah terik. Polusi juga sangat berbahaya bagi anaknya. Ah! Itu bisa saja bukan anaknya. Sudah menjadi rahasia umum, modus itu hanya sekadar alat perangsang rasa kasihan.

Seorang anak kecil yang selalu membawa tamborin jadi-jadian dengan suara cempreng, juga membuatku miris. Tubuh kurusnya dekil. Wajahnya belepotan. Kulitnya legam terbakar mentari. Kakinya telanjang menantang aspal panas. Namun kerasnya jalanan tak mengurangi keceriaannya.

Yang menyebalkan adalah ketika seorang lelaki bernyanyi dengan suara sumbang hanya bermodal tepuk tangan. Mulutnya bau alkohol. Usianya sangat produktif. Badannya juga kuat dan tampak sehat. Mengamen lebih ia pilih ketimbang mencari pekerjaan. Sekadar untuk menyambung hidup atau untuk membeli minuman keras? Aku tak menyalahkannya, memang tak mudah mencari pekerjaan. Dulu aku juga pernah mengamen di dalam bus kota karena lama menganggur.

Yang paling menyebalkan adalah ketika tiba-tiba seorang anak lelaki bertindik seumuranmu, tanpa permisi mengguyur badan mobilku dengan air sabun. Hanya kap saja yang digosok-gosok. Kemudian membilasnya buru-buru, berpacu dengan lampu hijau. Alih-alih tambah bersih, noda bekas sabun tertinggal di cat kap mesin. Padahal mobilku sudah bersih sebelumnya. Sebagai karyawan yang ditugasi menjemput-antar bos, aku selalu memastikan kondisi mobil dalam keadaan prima dan bersih. Sampai di kantor terpaksa aku mengelap ulang, jika tidak ingin telingaku mendengar omelan bos.

25 detik sebelum lampu hijau menyala.
Bus yang berada tepat di belakangku terdengar gaduh. Suara wanita berteriak histeris. Kalimatnya kurang jelas, mungkin karena musik yang kuputar terlalu kencang. Selang berapa lama dua orang berlari melewati mobilku. Satu orang bertubuh tinggi besar berlari ke kiri, satu orang lagi berperawakan sedang, berlari menerobos lampu merah. Tak lama kemudian beberapa orang berlari mengikuti ke dua orang tersebut. Segera saja kumatikan audio-ku, ingin tahu peristiwa apa yang sedang terjadi.

"Copeeeet! Copeeeet"

Orang-orang berlari sambil meneriaki ke dua orang tadi. Spontan mereka membagi menjadi dua kelompok, mengejar buruan yang berbeda arah.
Seorang yang menerobos lampu merah, lari tunggang langgang. Ketika berada tepat di pusaran perempatan, ia berbelok ke kiri menghindari mobil yang melaju kencang dari arah kanan. Namun tanpa ia sadari, dari arah yang berlawanan dengannya, sebuah sedan biru melaju lurus mendekatinya. Ciitt! Brakk

Tubuhnya terpental beberapa meter, bergulingan ke pinggir jalan hingga membentur trotoar. Orang-orang yang mengejarnya serempak berhenti dengan wajah-wajah bingung. Sebagian kembali ke tempatnya semula, sisanya mengerumun, menonton orang yang mereka tuduh copet, yang sekarang terkapar berlumuran darah.

"Aku pernah lihat anak itu!" kata lelaki gemuk yang tadi ikut mengejar copet. Ia berjalan melewati mobilku bersama beberapa orang lainnya.

"Kayaknya dia pedagang asongan deh!" timpal orang di sebelahnya.

"Yang bener?"

"Iya! Aku pernah beli sama dia!"

Aku menghela napas. Ada sesuatu yang menyesakkan dada. Tiba-tiba saja aku ingat kamu. Jika kau berada di sini, jantungmu seperti akan berhenti berdetak saat melihat temanmu tertabrak mobil. Semoga saja pencopet itu bukan pedagang asongan.

Kau dan teman-temanmu terbiasa mencari uang di jalanan. Sejak ada larangan, entah apa yang mereka lakukan untuk bertahan hidup. Jangan sampai larangan ini menimbulkan masalah baru, seperti kejadian tadi misalnya. Pedagang asongan beralih menjadi copet. Kembali aku berdoa, semoga saja pencopet itu bukan pedagang asongan yang biasa berjualan di sini.

Bulu romaku berdiri, membayangkan seandainya pencopet itu kamu. Tidak mungkin! Kau jujur. Aku sudah membuktikannya. Seandainya kita bertemu lagi, aku ingin menawarkan padamu untuk berjualan di depan kantorku. Nanti aku bicarakan masalah ini dengan bos.
Lampu hijau menyala. Mobilku hanya bisa melaju perlahan. Di depan sana polisi sedang mengatur lalu lintas yang mendadak macet. Sampai di TKP, mobilku tertahan. Sekarang jalan macet total.

Rasa penasaran membuatku mengedarkan pandangan ke arah kerumunan. Darah berceceran di mana-mana. Pandanganku tertumbuk pada topi hitam bertuliskan Linkin Park yang teronggok di sela-sela kaki pengerumun. Tubuhku gemetar. Jantungku seolah mau lepas. Apakah topi itu punyamu?


Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "210 Detik"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.