Sakura Mekar Di Langit

Dua Yang Tak Ada Tiganya

Cerpen Dua Yang Tak Ada Tiganya oleh Akhmad Al Hasni


"Gila lo ya?" pekik Lisa begitu mendapatiku sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Tak ada telaga bening di matanya. Hanya gumpalan awan hitam yang terapung di antara iris dan kelopak matanya.

Aku tahu ada rasa khawatir di hatinya yang beradu dengan marah. Khawatir orangtuanya tahu ia masih berteman dengan pecandu narkoba sepertiku, dan marah karena aku tidak jera, padahal sudah sering ia usir. Ia selalu seperti itu jika aku bertamu ke rumahnya. Yang diinginkannya adalah ia saja yang menghubungiku. Dengan begitu hubungan persahabatan ini tidak terganggu oleh omelan papi dan maminya.

"Gue bosen di rumah terus. Sekali ini saja tolong jangan usir gue. Please!"

Lisa menghunusku dengan tatapannya. "Ini terakhir kali lo injek rumah ini. Untung mami sama papi sedang keluar."

"Silakan duduk," gurauku.

Ia tersenyum kecut sambil menghempaskan pantatnya di sofa. Pandangannya ia lempar ke atas. Gaya ketusnya masih betah menempel di dirinya. Aku tahu itu hanya di permukaan saja. Hatinya selembut kapas, tidak tega jika ada temannya yang sedah kesusahan.
"Terakhir kali lo ke sini, papi marah. Gue ngga boleh lagi berhubungan lagi sama lo. Awalnya gue pikir papi terlalu lebay protek gue. Namun setelah gue renungin, gue memang harus ngejauhin lo sampai lo bener-bener sembuh."

"Gue udah ngga make lagi, Lis!"

Lisa menggeleng, menatapku lurus sebelum akhirnya membuang pandangannya ke langit-langit. Matanya berkaca-kaca.

"Sekali doang, itupun gue dalam keadaan ngga sadar," ujarku membela diri.

Lisa memejamkan mata. Buliran bening di matanya pecah, membasahi pipi lesungnya. "Loi memang ngga pernah sadar dan akan terus seperti ini jika lo ngga bisa melawan. Percuma gue nasehatin lu sampai mulut berbusa kalau lo ngga punya keinginan ingin sembuh. Gue sayang lo seperti menyayangi kakak sendiri. Tapi lo tega ngebohongin gue."

Aku menelan ludah. Tenggorokanku mendadak kemarau, namun hatiku gerimis. Rasanya seperti luka tersiram air garam. Perih ini membuatku ingin teriak. Namun itu sia-sia, Lisa sudah tak percaya lagi kepadaku. Satu kebohonganku telah meruntuhkan kepercayaannya.
"Lo tahu dari mana gue masih make?" tanyaku.

Lisa menyeka airmatanya, kemudian berdiri. "Gue lihat sendiri. Bokap lo yang nyuruh gue masuk kamar lo. Gue disuruh nasehatin lo. Hah! Itu gila! Ngga ada artinya gue ceramahin orang yang otaknya lagi melayang kemana-mana kan? Gue nangis di depan lo. Apa lo inget kejadian itu? Engga kan?"

"Maafin gue, Lis!" ucapku parau.

Lisa menggeleng. "Lo ngga salah sama gue. Itu hidup lu. Gue nyesel sudah terlalu jauh masuk dunia lo. Nikmati saja. Mulai sekarang lo boleh ngelupain gue."

"Lis!"

"Maafin gue, met malem!" ucapnya seraya berlalu dari hadapanku.
*****


Tulang dan persendianku rasanya sangat nyeri, seolah ditimpa puluhan karung berisi pasir. Tenagaku juga lemah. Berjalan dari kamar tidur ke kamar mandi sampai tertatih-tatih. Dalam setiap langkah, aku harus menjaga keseimbangan tubuh agar tidak limbung. Kondisi ini diperparah oleh sakit kepala yang hebat. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum di sekitar pelipis dan tengkuk. Cairan keluar dari mata dan hidungku. Menjijikan!

"Damian!" panggil mama. Ia keluar dari kamar dan segera memapahku menuju kamar mandi. Telapak tangan kanannya mengusap wajahku yang basah oleh keringat dingin.
"Sudahlah, Mam! Aku ngga papa." Aku menepis tangan mama.


"Jangan lama-lama di dalam, Sayang!"

Aku masuk ke kamar mandi tanpa menghiraukan kekhawatiran mama. Aku akan baik-baik saja. Aku hanya butuh air untuk berendam. Dinginnya air bisa sedikit mengalihkan keinginanku untuk menyentuh putaw. Meskipun hanya sementara, setidaknya cara itu dapat mengurangi penderitaan yang sulit dijelaskan dengan kalimat.

Kulepas semua yang menempel di badan sehingga tak menyisakan sehelai pun benang. Selanjutnya kubuka keran untuk memenuhi Buth Up dengan air. Setelah penuh dengan air, kurendam tubuh sebatas leher di dalamnya. Terapi ini disarankan oleh Lisa. Akh! Kenapa harus mengingat nama itu lagi. Tadi ia sudah bilang agar aku melupakannya. Apakah itu artinya ia sudah tak mau bersahabat denganku lagi? Jika benar, maka tak ada satu pun temanku yang tersisa.

"Aku ingin sembuuhh!" teriakku sekuat tenaga. Aku ingin semua kembali normal. Apakah bisa tubuhku berhenti menagih kristal laknat itu? Apakah mungkin mama dan papa akan rukun kembali setelah ini? Apakah duniaku akan kembali lagi jika aku bisa terbebas dari ketergantungan narkoba?

Tok tok tok

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya mama. Mungkin ia khawatir karena mendengar teriakanku tadi.

"Ya, Mam! Aku baik-baik saja," jawabku supaya mama berhenti mengkhawatirkanku. 

"Mama tidur saja. Air ini ngga akan membunuhku."

Sepi, tak ada jawaban. Pasti mama sedari tadi berada di balik pintu. Ia ingin memastikan semua baik-baik saja. Maafin aku, Mam! ucapku dalam hati. Lidahku sulit mengucapkan itu saat ada di hadapannya, bahkan ketika aku sadar setelah koma selama enam jam di ruang ICU. Mama takut aku over dosis. Padahal aku mengalami gegarotak akibat kubenturkan kepala belakangku ke tembok berkali-kali karena tak kuat menahan sakit.

Aku tidak pernah meminta maaf kepada kedua orangtuaku sejak mereka sering bertengkar. Meskipun begitu aku merasa bersalah kepada mereka. Aku akan mengucapkannya nanti jika mereka rukun lagi.

Aku mulai kedinginan, memang ini yang aku tunggu, rasanya sedikit nyaman. Penderitaanku berangsur teralihkan. Aku baru akan berhenti berendam jika sudah tidak tahan lagi menahan dingin.
*****


Shelter bus dipadati calon penumpang. Kebanyakan anak-anak berseragam putih abu-abu. Seorang perempuan muda mengipasi wajahnya menggunakan kipas. Di sebelahku seorang pelajar mengibaskan-ngibaskan bajunya yang kancingnya sudah lepas separuh.  Semua orang yang tertangkap lensaku, wajahnya basah oleh keringat. Mentari sepertinya sukses membakar kota ini. Namun terik tak membuatku merasa kepanasan. Justru aku merasa kedinginan yang sangat. Tubuhku menggigil. Jaket tebal yang kukenakan tidak banyak membantu. Kutekuk lutuku kemudian menyandarkan tubuh di tiang penyangga.
"Bus datang, Mas!" ujar seorang ibu. Ia menatapku aneh, lantas masuk ke dalam bus.
Masih tersisa dua anak berseragam sekolah. Mereka berbincang sambil memandangku. Perilaku anehku sepertinya menarik dijadikan topik pembicaraan. Persetan dengan mereka! Tak ada lagi yang peduli denganku. Di keluarga, aku hanya duri dalam daging. Sahabat pun tak ada lagi yang tersisa. Lisa? Entahlah!

Berharap dapat bertemu dengan Lisa di shelter bus adalah perjudian. Teman sekampusku itu belum tentu naik bus. Kadang berangkat pulang kuliah, ia membawa mobil sendiri. Namun hanya ini usaha yang bisa kulakukan untuk dapat bertemu dengannya. Aku tak tahu untuk apa aku menemuinya. Ia sudah tak mau lagi menemuiku. Yang aku tahu aku merasa masih hidup saat bersamanya.

Kurapatkan jaketku. Tubuhku semakin menggigil. Keringat dingin keluar melalui pori-pori. Badan terasa meriang. Jika tidak sakaw seperti ini, aku pasti sudah mengantuk. Dari tadi malam aku belum tidur. Malam kujadikan siang. Begitu juga sebaliknya.

Perutku rasanya mual. Pandanganku mulai kabur. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku butuh putaw sekarang. Tidak! Aku ingin mati saja, karena tak akan ada yang menangisi kepergianku. Aku ini seonggok daging busuk. Hidup hanya membuat malu keluarga dan hanya menyusahkan orang lain. Mungkin ini saatnya. Pandanganku kabur. Lalu lalang kendaraan berubah menjadi kupu-kupu yang berterbangan. Sebuah kereta yang ditarik kuda putih berhenti. Tak lama kemudian sesosok makhluk bersayap yang tubuhnya menyerupai manusia menghampiriku. Wajahnya rupawan dan bercahaya. Tanpa basa-basi ia memelukku dengan kedua sayapnya. Kurasakan tubuhku terhisap. Rasa sakit dan dingin lenyap bersamaan dengan hilangnya kesadaran. Kemudian semuanya tampak putih.
*****


Sayup-sayup kudengar lantunan ayat kursi. Suaranya serak tapi fasih. Perlahan kubuka mata. Seorang lelaki berpakaian serba putih duduk di sebelah tempat pembaringanku. Sepertinya ia seumuran papa. Kopiah melekat di atas kepalanya. Wajahnya berkeriput namun sangat bersih dan bercahaya. Tangan kanannya mengusap rambutku. Mulutnya terus melafalkan ayat kursi. Tatapannya teduh. Ia menyunggingkan senyum kepadaku. Siapakah dia? Dimana aku berada? Huft! Kepalaku terasa berat untuk kugerakan. Namun aku bisa mengenali tempat ini. Ya, ini kamarku. Bagaimana bisa aku kembali ke rumah? Terakhir kali yang kuingat adalah aku berada di shelter bus sedang menunggu Lisa. Aku sakaw sampai berhalusinasi.

"Ba-bapak siapa?" tanyaku terbata. Badanku masih lemas meskipun sedikit lebih nyaman dari sebelum tak sadarkan diri.

"Aku ini teman papamu. Sekarang jadi temanmu." jawabnya.

"Aku ngga punya teman."

Ia tersenyum.

"Temanku putaw," lanjutku dengan nada getir.
"Dia musuhmu. Karena putaw, kamu kehilangan teman-teman. Tapi kamu masih punya keluarga."

Aku merasa geli mendengar ocehannya yang sok tahu itu. "Keluarga? Mereka tak peduli denganku. Mereka hanya merasa kehilangan nama baik. Mereka tidak akan merasa kehilanganku."

"Seharian mama dan papamu mencarimu. Lalu ada yang menelpon, memberitahukan keberadaanmu. Sampai di sana kamu sudah tak sadarkan diri."

Benarkah orangtuaku mencariku? Terus siapa yang menelpon mereka? Apakah Lisa? "Lalu kenapa mereka ngga ada di sini?"

"Mereka sedang jamaah salat asar."

Aku tergelak. Sungguh lucu kedengarannya. Mulai kapan mereka salat berjamaah? Sejak papa diberitakan beristri lagi, kedua orang tuaku tak pernah salat berjamaah. Jika lelaki di sebelahku ini tidak mengada-ada maka ini kabar baik. Semoga saja ini benar.

"Aku tahu kamu punya keinginan untuk terlepas dari ketergantungan narkoba. Beberapa kali kamu berhasil melewati sakaw. Itu luar biasa. Aku tak bisa sepertimu saat masih menjadi pecandu."

"Bapak pecandu juga?"

Ia mengangguk. "Tapi itu dulu, waktu seumuranmu. Sekarang aku menjadi teman para pecandu yang punya keinginan untuk sembuh."

"Ooh!" seruku. "Bagaimana caranya bapak bisa sembuh?"

"Semua terapi aku jalani. Tapi bukan itu yang membuatku sembuh. Allah yang menyembuhkanku. Dan Dia akan memberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Apakah kamu membutuhkan kesembuhan?"

Aku mengangguk.

"Kamu sedang mendapatkannya! Kamu hanya perlu mempertahankannya," katanya mantap. Ada keseriusan dalam tatapannya.

"Bagaimana caranya?"

"Apakah kamu pernah mendengar istilah dua yang tak ada tiganya?"

Aku menggeleng.

"Dua yang tak ada tiganya adalah siang dan malam. Mereka sepasang dan tak akan pernah saling mendahului. Siang berjalan sesuai kodratnya, begitupun malam. Siang diciptakan agar manusia berusaha menjemput rizki, dan malam adalah selimut agar kita bisa beristirahat dengan tenang."

"Apa hubungannya dengan kesembuhanku?"

"Tempatkanlah siang dan malam sesuai kodratnya. Gunakan waktu siang untuk beraktivitas. Teruskan kuliahmu. Jauhi orang yang berpotensi melemahkan perjuanganmu untuk sembuh. Tinggalkan teman-teman yang dapat menarikmu kembali pada narkoba. Meski kutahu kamu insomnia, tapi biasakan tidur malam. Lalu cobalah bangun pada jam dua dini hari. Sujudlah kepada Allah. Minta kesembuhan pada-Nya. Insya Allah Dia akan memberikannya jika kamu bersungguh-sungguh."

"Sederhana tapi sulit," ujarku.

"Tak ada yang sulit jika kamu mau berusaha," tukasnya seraya menggenggam tanganku.

Aku mengangguk, tanda memercayai ucapannya. Tak lama berselang kedua orangtuaku datang. Papa merengkuh bahu mama. Mereka tersenyum kepadaku secara bersamaan.

"Mama, papa, maafin Damian ya?" ucapku. Papa mengangguk. Mama menitikan airmata kemudian memelukku erat.
*****


Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Dua Yang Tak Ada Tiganya"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.