Sakura Mekar Di Langit

Balada Kacung Sejati

Cerpen Balada Kacung Sejati oleh Akhmad Al Hasni

Jam lonceng peninggalan almarhum kakek berdentang tujuh kali. Gemanya nyaring, memecah kesunyian pagi, mengingatkanku untuk segera keluar dari dalam kamar. Sebelumnya, aku mematutkan diri di depan cermin. Berputar ke kanan, berputar ke kiri, lalu senyum-senyum sendiri. Wajah lonjong, hidung mancung, sorot mata tajam dan alis agak tebal mirip orang Arab. Kurapikan sedikit kemeja yang agak menyembul di atas ikat pinggang, selepas itu kusisir rambut ke atas meniru model rambut Christiano Ronaldo. Keren juga ternyata. Saatnya menyapa dunia.

Aku bergegas ke ruang tengah. Menu apa yang tersaji di meja makan saat ini? Menakjubkan! Seporsi bubur ayam kesukaanku. Tak menyia-nyiakan waktu kucumbu aroma yang menggugah selera. Ibuku memang mahir menyulap beras dan rempah-rempah menjadi makanan istimewa. Kusendokkan sedikit lalu meletakkannya di lidah. Hemm, lezat! Ritual sarapanku semakin khusyuk dengan cerahnya langit.
Baru berapa suapan tabletku bergetar. Nada dering "Sakitnya Tuh Di sini" baru saja menyakiti kecantikan pagi. Kupicingkan mata mengeja nama pemanggil. Ternyata dari bos. Firasat buruk seketika hinggap di benakku. Agak malas kuusap layar, menerima panggilan tersebut.

"Hallo, Bos!" sapaku manis dengan intonasi merayu, selayak kucing tengah menjilat kaki tuannya. Jurus ini selalu ampuh untuk menohok ketidakpedulian bos akan hak-hak pekerja. Sindiran adalah senjata mematikan ketika terus terang menjadi barang mewah. Penekanan kata "bos" sudah cukup mumpuni untuk berdialog dengan nuraninya yang sadar benar bahwa dia belumlah becus memimpin perusahaan meubel dengan puluhan karyawan. Benar saja dia merasa jengah seperti biasanya dengan ucapanku, terdengar dari lenguhan napasnya.

"Bisa tidak berangkat lebih awal? Nanti ada pengiriman kayu dari Jepara. Setengah delapan kau harus sampai di kantor. Kau tanda tangani delivery order-nya. Masalah pembayaran nanti aku transfer." Suara cempreng mirip kaleng rombeng itu menggema di gendang telingaku.

"Saya usahakan..." jawabku malas.

"Ingat, setengah delapan!"

"Ya!"

Tut tut tut

Panggilan diakhiri sepihak. "Arogan!" Kasihan sekali aku ini. Bahkan aku hanya berani mengumpat kepada ponsel. Sebagai kacung sejati, aku hanya bisa mengeluh, memaki nasib, tanpa berani protes. Inilah negara tercinta, di mana uang dan kekuasaan bisa membungkam mulut orang kecil. Kalau aku protes dianggap melawan, pekerjaanku bisa hilang karenanya. Banyak yang siap menggantikan posisiku. Realita memuakkan! Jumlah lapangan kerja tak sebanding dengan besarnya angka pengangguran.

Kupandangi nasib bubur ayam dengan rasa bersalah karena hasrat untuk menggaulinya sudah hilang. Dengan berat hati kutinggalkan makanan kreasi ibuku itu. Agak tergesa kukenakan ransel, memasukkan helm di kepala, menguncinya sampai bunyi klik!, lantas setengah berlari kusambangi kendaraanku.

Ketika meletakkan pantat di jok motor, baru kusadari kalau aku merasa ingin buang air kecil. Namun jika menyempatkan ke kamar mandi dulu, aku bisa terlambat. Perjalanan ke tempat kerja memakan waktu kurang lebih setengah jam. Sekarang pukul 07:15 WIB. Berarti aku harus melaju lebih cepat dari biasanya. Kutekan tombol starter. Berdoa sejenak sebelum akhirnya melesat ke jalan raya.

Brrr! Angin kemarau menerpa kemejaku hingga menembus kulit. Ternyata aku lupa memakai jaket. Huft! Mengutuk diri sendiri juga tak akan serta merta membuat jaketku tiba-tiba melekat di tubuh. Yang terpenting saat ini adalah tetap konsentrasi melewati setiap meter jalan ini, menyemut di antara padatnya kendaraan dengan ekstra waspada. Roda-roda yang menggerus aspal saling berebut celah. Semua ingin menang. Semua ingin lekas sampai di tujuan, termasuk aku.

Pinggulku reflek bergoyang-goyang. Perutku sebah. Kandung kemih terasa tertekan. Berkali-kali dahiku berkerut, mata merem-melek. Kebelet pipis ini sungguh menyiksa. Kadang ingin menepi sejenak, menumpahkannya di balik semak, tapi aku tak terbiasa. Bukan hanya karena malu, melainkan juga karena itu akan membuat celana dalamku terkena najis. Bagaimana keabsahan salatku nanti?
Tring! Otak warasku mendadak berfungsi kembali. Jaringan sel-sel yang tadi tersumbat emosi kini lancar sehingga memunculkan ide untuk segera ke SPBU terdekat. Bukankah di sana ada fasilitas WC umum? Senyumku mulai mengembang. Tak mengapa terlambat sebentar. Alasan bisa dibuat nanti. Lagi pula aku sudah terbiasa dimarahi bos, bisa dibilang pelanggan tetap.

Tiba-tiba roda belakang terasa bergoyang, menyebabkan stir nyaris tak terkendali. Beruntung adrenaline membuatku sigap menepikan motor. 
"Sial!" Ban belakang kehabisan angin, mungkin bocor. Kutuntun rodaduaku sambil menahan malu, lapar, dan tentu saja menahan kebelet pipis.

"Kenapa, Mas?" tanya seorang lelaki berseragam satpam yang tengah berdiri di depan pos.

Aku tersenyum kecut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Jika ia cerdas, pasti pandangan matanya akan menjawab pertanyaannya. Dan jika ia punya empati, seharusnya ia tahu bahwa basa-basinya salah alamat.

Melewati sebuah halte yang dipenuhi calon penumpang, rasanya seperti badut yang gagal menghibur. Aku sangat risih jadi pusat perhatian.

"Menurutmu motor itu kehabisan bensin atau bannya kempes?" tanya seorang berseragam putih abu-abu kepada temannya.

"Kehabisan bensin!" jawab temannya asal.

"Apa kamu tak melihat ban belakangnya kempes?"

"Itu cuma modus. Sengaja dibuang anginnya, supaya orang tak menyangka dia kehabisan bensin."

"Hahaha! Kreatif tuh orang!"

Kurang ajar! Dua anak berseragam sekolah itu benar-benar tak punya perasaan. Orang sedang ditimpa musibah malah dibuat olok-olokan. Di antara mereka yang berada di halte tersebut, ada beberapa orang yang memasang wajah iba, namun kebanyakan dari mereka acuh, seolah tak pernah melihatku. Aku juga tak mau dikasihani.
Sampai di tempat tambal ban, bajuku basah, napas tersengal-sengal dan tenggorokan kering. 
Nasib baik sepertinya belum berpihak kepadaku, sudah banyak yang mengantre.

"Tolong cek ban belakangku, Pak!" pintaku kepada lelaki yang tengah memompa ban sepeda motor menggunakan mesin kompresor.

"Masih harus menunggu tiga lagi," ujarnya tanpa menoleh kepadaku.

"Tiga-tiganya cek kebocoran ban semua, Pak?" tanyaku heran.

"Pastilah! Namanya juga tempat tambal ban," jawabnya.

Aku mendengus kesal. Kalau begini keadaannya, aku bisa terlambat sampai kantor.

"Kamar kecil dimana, Pak?" tanyaku gelisah.

"Buang saja di pinggir sungai itu," suruhnya tanpa rasa sungkan. Tangannya menunjuk sungai di belakang bengkelnya.

Kutepuk dahiku. Akh! Mimpi apa aku semalam? Sudah harus mengantre lama, tak ada kamar kecil pula.

"Motor kutinggal saja," kataku kepada tukang tambal ban. "Kuambil nanti sore, pulang kerja."

"Jangan sampai melebihi jam lima sore!" kata tukang tambal ban mengingatkan.

"Ya!"

Aku harus segera ke kantor. Di sana bukan hanya suplayer tengah menungguku, tapi juga kamar mandi. Suka tidak suka, aku harus naik angkutan umum. Setelah menunggu sebentar, bus mini datang. Aku langsung melompat dan segera merangsek ke dalam bus. Boro-boro dapat tempat duduk, berdiri saja berhimpitan.

Bagi yang sudah terbiasa mungkin tidak terlalu pusing berada di dalam bus yang penuh sesak, panas, lambat dan sering berhenti. Tapi bagiku ini sangat menjengkelkan. Sumpek rasanya. Ditambah lagi ada seorang wanita setengah baya yang tak henti-hentinya bicara sendiri gara-gara disuruh membayar lebih mahal dari tarif biasanya. Ocehannya itu membuat seorang balita dalam gendongan ibunya terbangun, tangisnya keras, bersaing dengan lagu dangdut yang diputar sang sopir.

Di depanku seorang lelaki bertubuh kekar dengan model rambut cepak, sesekali melirik curiga ke arahku, tangannya meraba saku belakang kanannya yang berisi dompet. Apa tampangku mirip pencopet? Sementara di belakangku seorang perempuan muda yang kalau dilihat dari wajah imutnya aku tebak belum berusia dua puluh tahun. Saat aku menoleh ke arahnya, sedikit teralihkan rasa sumpekku. Tapi bau parfume-nya hampir membuatku pingsan. Aromanya seperti perpaduan antara minyak rem, kemenyan dan telur busuk. Sebenarnya perjalanan naik bus ke tempat kerja tidak lebih dari dua kilometer. Tapi suasana tidak nyaman membuatku merasa seperti lama berada di dalamnya.

Sampai di kantor, aku langsung berlari seperti orang kesetanan. Seorang lelaki tinggi kurus bermata sipit berusaha mencegatku, mungkin ia suplayer yang dimaksud bos.

"Sebentar ya, Pak?" ujarku meminta pengertiannya.

"Tinggal tanda terima saja, Mas!" bujuknya.
Aku tak menggubrisnya dengan terus berlari ke samping kantor. Tanda terima soal gampang, tapi untuk mengecek barangnya butuh waktu lama. Aku sudah tak punya waktu lagi. Aku hanya ingin menuju kamar mandi. Tak boleh ada satupun yang menghadangku.

Langkah-langkah panjang yang kujejakkan akhirnya mendekati tujuan. Alhamdulillah! Rasanya seperti seorang pelari maraton yang hampir mencapai garis finish. Tak terlukiskan betapa senangnya hatiku saat tangan ini menyentuh daun pintu kamar mandi.

Gubrak!

Aku terpeleset hingga jatuh. Beruntung, kepalaku tidak terantuk tembok. Kakiku terkilir, rasanya sakit sekali. Untuk bangkit aku harus berjongkok dahulu, baru merayap sedikit demi sedikit. Saat membungkukkan badan, ponsel di saku baju jatuh ke dalam lubang closet. Alamak! Sempurna sudah penderitaan seorang kacung sejati.


Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Balada Kacung Sejati"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.