Sakura Mekar Di Langit

Sampah Otak

Cerpen Sampah Otak oleh Akhmad Al Hasni


Rumah joglo di pinggir jalan raya ini sangat menonjol. Di sekitar sini, Hanya ini rumah yang konstruksinya dari papan kayu jati. Di kanan dan kirinya berjejer rumah bergaya minimalis dan pertokoan. Kesan klasik semakin kental dengan bentuk pagar dan gapura yang menyerupai keraton. Halaman depannya sangat luas. Di sebelah kanan terdapat taman bunga dan sebuah kolam yang di tengahnya berdiri sebuah patung rajawali. Di sebelah kiri pelataran parkir dan Mushola.

Dulu rumah ini milik mantan kepala desa. Sekarang dibeli oleh Mas Kusno. Ia adalah kakak kelasku di SD dulu. Sudah dua belas tahun ia pergi dari desa ini dan baru beberapa bulan ini kembali. Kedatangannya sangat menggemparkan warga karena masa lalunya yang kelam. Kesuksesannya juga dikaitkan dengan dunia hitam yang pernah dilaluinya. Rumah dan mobil yang ia punya dianggap hasil kejahatan. Sebagai teman kecilnya, aku masih berhubungan dengannya, tak peduli masa lalunya. Kenyataannya, ia sudah berubah dan berhasil menjadi orang yang berguna.

Setengah jam lebih aku berada di ruang tamu yang disangga empat tiang kayu kayu jati tua tanpa dinding. 
Dari sini aku bisa mengedarkan pandangan ke setiap penjuru bagian depan rumah, sehingga kebosanan tidak menyergapku yang tidak suka membuang-buang waktu. Aku terlalu bersemangat sampai-sampai datang lebih awal dari yang dijanjikan Mas Kusno. Ia memintaku datang jam setengah sembilan pagi. Berarti aku masih harus menunggu lima menit lagi untuk bertemu dengannya.

Seorang perempuan setengah baya menghampiriku sambil membawa baki berisi segelas teh hangat dan sepiring pisang goreng.

"Mari, Mas!" Perempuan yang kuperkirakan pembantu rumah tangga itu menyajikan hidangan di atas meja.

"Terima kasih," ucapku. Ia mengangguk lalu pergi dari hadapanku.

Tidak lama berselang, Mas Kusno datang. Ia berjalan ke arahku dibantu kruk kayu yang ditopangkan ke ketiaknya. Kaki sebelah kanannya diamputasi sebatas lutut. Setiap kali berjalan ia harus dibantu penyangga. Aku berdiri menyambutnya. Kami berjabat tangan lalu duduk berdampingan.

"Sudah lama menunggu? Kenapa tidak sms kalau sudah datang. Tadi aku di belakang, mengecek barang yang mau dikirim. Alhamdulillah permintaan semakin banyak. Aku undang kamu ke sini untuk melihat-lihat. Tapi santai aja. Silakan diminum dulu tehnya," ujarnya.

"Pas banget, Mas! Teh hangat musuhnya pisang goreng," kelakarku, kemudian kuseruput teh tersebut.

Mas Kusno tersenyum. Ia   mengingatkanku kepada Hengki Kurniawan, artis sinetron yang dulu pernah ngetop. Wajahnya oval, kulitnya kuning langsat, hidungnya mancung, rambutnya lurus dan murah senyum.

Lelaki berusia tiga puluh lima tahun tersebut belum berumahtangga. Padahal ia tampan dan mapan. Apakah karena cacat fisik salah satu faktor yang membuatnya belum memiliki pendamping hidup atau tidak, aku tak ingin menerka-nerka.

"Home industry dengan mendaur ulang limbah rumah tangga belum ada di kampung kita prospeknya sangat bagus. Di samping menyerap banyak tenaga kerja juga akan menyelamatkan lingkungan. Bagaimana kalau sekarang, aku ajak kamu langsung ke ruang belakang. Aku yakin kamu akan tertarik," tawarnya.

"Okey!"

Mas Kusno mengajakku ke sebuah ruangan di belakang. Aku kagum dengan penataan rumahnya yang sangat asri. Setiap sudut selalu ada tanaman. Bahkan di dinding terpajang berbagai macam anggrek. Tampaknya ia tipe perfeksionis, setidaknya dari desain rumahnya.

"Ini ibu-ibu sedang membuat beraneka macam perhiasan. Ada bunga-bunga, tas, pigura foto, dan masih banyak lagi. Semuanya hasil daur ulang," kata Mas Kusno. Ada empat perempuan di ruangan ini yang sedang membuat hiasan. Seorang lagi, anak laki-laki berusia belasan sedang mengecat menggunakan kuas.

"Menakjubkan! Sampah disulap menjadi cinderamata," pujiuku. Sebelumnya, aku hanya bisa melihatnya di internet dan media cetak.

"Aku memulai usaha ini di Jakarta. Di sini baru kumulai beberapa minggu. Sementara bahan bakunya didatangkan dari luar kota," katanya sambil mengecek salah satu produk yang sudah jadi.

Aku mengambil sebuah tas cantik yang bahan bakunya dari bekas karung beras. Cantik sekali, sekilas orang tidak akan tahu itu terbuat dari barang yang sudah dianggap sampah.

"Aku tertarik gagasanmu untuk mendirikan bank sampah di desa ini. Bank-mu tak akan berjalan jika tidak ada perusahaan yang mau membeli sampahnya. Aku siap jika kamu serius. Jangan mau kalah dengan daerah lain yang sudah lebih dahulu berhasil. Ini memang bukan ide orisinil, tapi tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baik dan terbukti keberhasilannya bukan?"

"Dari dulu aku ingin desa ini memiliki bank sampah, tetapi sulit sekali mencari rekanan pengusaha. Proposalku selalu ditolak. Ini seperti mimpi saja. Tiba-tiba kamu datang dan mengajak kerjasama."

Air muka Mas Kusno tiba-tiba berubah, "Tapi warga belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Aku cacat lahir batin. Sudah buntung satu kaki, mantan narapidana lagi."

Aku menepuk bahunya, "Kamu tak akan menyerah bukan? Jika kamu bisa sukses di daerah orang, kenapa harus takut melakukannya lagi di desa sendiri. Buktikan kita bisa bermanfaat untuk orang lain."
Mas Kusno mengatupkan bibirnya sambil mengangguk, lantas ia mengulas senyumnya.
*****

"Ayah sudah berusaha mengusulkan gagasanmu kepada Pak Kades. Tapi beliau menolak," ujar Ayah, wajahnya menyiratkan penyesalan.

"Kenapa? Apakah karena melibatkan Mas Kusno? Jadi pandangan Pak Kades juga sama dengan orang-orang, masih menganggap Mas Kusno bajingan? Apakah itu pandangan seorang kepala pemerintahan desa bergelar Sarjana Teknik? Picik sekali dia! Itu subyektif dan tidak logis!" ucapku penuh kecewa. Jantungku berdegub kencang. Tensi darahku naik. Benakku dipenuhi bayangan wajah keriput Pak Kades yang menyeringai jahat. Kumis tebalnya naik turun. Jijik aku membayangkannya.

Ayah melingkarkan tangannya di pundakku. "Pak Kades pasti harus bermusyawarah dengan warga. Masalahnya sebagian besar warga masih belum bisa menerima kehadiran Kusno."

Aku mendesah panjang. Satu aral sedang mengujiku. Aku tak boleh kehilangan akal. Harus ada rencana cadangan. 

"Ayah ini hanya sekretaris desa. Semua kebijakan Pak Kades yang menentukan. Sebagai orangtua, ayah bangga padamu, memiliki ide sebagus ini. Tapi kita harus realistis."

"Ayah masih mendukungku kan?" tanyaku.

Ayah membetulkan kacamatanya yang melorot. Ia menatapku lekat-lekat. "Ayah harus bagaimana lagi? Jika ayah seorang bupati, setiap desa di kabupaten ini akan ayah dirikan bank sampah."

Aku mendengus. Tak mengapa jika gagasanku tidak diterima. Yang membuat aku kecewa adalah penolakan tersebut dikaitkan dengan masa lalu Mas Kusno. Ini tidak adil.

"Ayah punya saran, bagaimana kalau kamu presentasi di forum rapat RT. Mulailah dari lingkungan terkecil.

Jika sudah berjalan, ayah pikir tidak sulit untuk melebarkan wilayah."

Aku terlonjak. "Ide cemerlang, Yah! Kapan ada rapat RT?"

"Minggu depan."
*****

Ketika pembawa acara mempersilakanku untuk bicara, warga yang hadir dalam rapat RT memusatkan pandangan kepadaku.

"Bapak ketua RT dan bapak-bapak yang saya hormati. Perkenankan saya di forum ini untuk menyampaikan gagasan yang saya pikir akan bermanfaat bagi lingkungan tempat tinggal kita. Seperti kita ketahui sampah adalah masalah yang setiap tahun semakin membebani kita. Sebagai warga, saya mengusulkan sebuah solusi untuk mengurangi beban tersebut, bahkan ini bisa menghasilkan nilai ekonomi,” ucapku sedikit grogi. “Sebelumnya saya mau bertanya kepada bapak-bapak yang hadir di sini, apakah ada yang pernah mendengar istilah bank sampah?"

"Belum!"

"Tidak!"

"Pernah!"

Beberapa orang berebut untuk menjawab. Ada juga yang tak menunjukan sikap antusias, beberapa di antaranya bicara dengan orang di sebelahnya, sementara sisanya tampak mengantuk.

"Bagi yang sudah pernah mendengar atau sudah tahu, ada baiknya saya jelaskan kembali apa itu bank sampah. Konsep bank sampah sama dengan bank pada umumnya. Nasabahnya adalah warga dan diberi buku tabungan. Perbedaannya, yang ditabung adalah sampah kering dan sudah dipilah.  Sampah tersebut kemudian ditimbang dan dihargai dengan sejumlah uang. Nasabah berhak meminjam uang tunai, membayarnya dengan sampah senilai uang pinjaman,” lanjutku. “Sampai di sini, mungkin ada yang mau bertanya?"

Seorang berbadan gemuk mengangkat telunjuknya.

"Silakan!" ujarku.

"Semua sampah bisa ditabung?" tanyanya.

"Yang ditabung adalah sampah plastik saja, sebab sulit diurai. Plastik tersebut dibedakan kualitasnya. Untuk kualitas satu, ukurannya lebar dan tebal misal karung beras, botol detergen dan lain-lain. Kualitas dua biasanya dari kemasan minuman instan. Kualitas tiga dari kemasan mie instan. Kualitas empat dari kemasan air mineral. Untuk plastik yang sudah sobek dan tidak rapi dikategorikan kualitas nol,” jawabku menjelaskan. “Ada lagi yang mau bertanya?"

"Saya!" Lelaki berperawakan besar mengangkat tangannya.

"Silakan!"

"Apakah sudah ada perusahaan yang siap menampung sampah tersebut?"

"Sudah ada yang siap bekerjasama jika nanti bank sampah terealisasi."

"Saya dengar ini ide Kusno. Betul atau tidak?" sela seseorang yang belum kutahu siapa. Aku celingukan, mencari sumber suara.

"Pokoknya saya tidak setuju ada bank sampah. Apalagi jika melibatkan Kusno, sampah masyarakat!" ujar yang lain.

"Iya, benar. Kusno itu mau bikin ulah lagi di kampung kita. Aku tidak setuju. Bagaimana bapak-bapak, apa kita rela diinjak-injak Kusno lagi?"

"Tidak!" beberapa orang menjawab serempak. Suasana mulai memanas.

"Tolong tenang, beri kesempatan dia bicara," pembawa acara mengangkat kedua tangannya, beruasaha mengendalikan situasi.

Lelaki bertampang seram berdiri. Matanya melotot. Telunjuknya terarah lurus ke mukaku. "Kamu dibayar berapa sama Kusno. Apa kamu lupa dulu Kusno sering mencuri dan membuat resah kampung kita? Dia itu bajingan. Perampok lintas kota. Kakinya buntung sebelah karena ditebas pedang waktu perebutan lahan parkir di Jakarta. Dia dipenjara sepuluh tahun karena merampok dan membunuh korbannya. Dia itu sampah masyarakat. Dia yang seharusnya dijual. Kalau kamu mau membuat bank sampah. Buatlah bank sampah masyarakat!"

"Bapak-bapak mohon tenang. Jika sudah tidak mengizinkan anak saya bicara, tolong jangan berlaku kasar." Bapak bangkit dan berdiri di tengah-tengah warga. Aku ingin protes tapi urung demi melihat situasi yang tidak kondusif.

"Kalau begitu, suruh pulang anak bapak!" usir lelaki yang tadi berkata kasar padaku.

Ayah menatapku iba. Ia mengulurkan tangannya kepadaku. Terpaksa kumenurutinya agar tidak terjadi perselisihan antara ayah dan para warga. Tangan ayah menarikku agar aku bangkit. Lantas ia menggandengku keluar ruangan.

Aku tak mengerti, siapakah sampah yang sebenarnya, apakah Mas Kusno atau otak mereka? Lain kali aku akan presentasi lagi agar otak-otak sampah di ruangan ini bisa kubeli lantas didaur ulang agar lebih bermanfaat.

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

1 Response to "Sampah Otak"

Diberdayakan oleh Blogger.