Sakura Mekar Di Langit

Ketika Pak Kepsek Dipanggil Tuhan

Cerpen Ketika Pak Kepsek Dipanggil Tuhan oleh Akhmad Al Hasni




Orang memanggilmu Ole, nama lengkapmu Soleh. Wajahmu bulat, pipi tembem, kulit legam, mata cokelat, bibir tebal, jika kau tak berambut lurus dan berhidung mancung, kau mirip dengan pribumi Afrika. Aku tak sedang mengejekmu, justru aku iba padamu karena kerap mendapat hinaan.

"Mungkin bapaknya orang negro," tuduh Andi, seorang pedagang siomay.

"Bisa jadi, tapi apa iya ibunya mau sama orang negro? Katanya ibunya cantik lho!" tukas Jayus, pedagang mainan.

"Kasus pemerkosaan tidak jarang dialami TKW."

"Tapi, ibunya kerja di Hongkong, bukan di Afrika."
"Di Hongkong juga banyak orang Afrika."

Jayus mengangguk, berlagak mengerti. Ia agak jongkok IQ-nya. Menghitung uang kembalian saja kadang salah. Ia idem saja setiap teman mangkalnya bicara.
Andi, meskipun menurutku wawasannya lumayan, tapi jadi ikut bodoh. Sudah tahu lawan bicaranya tak paham, tapi masih saja nyerocos sampai mulutnya berbusa. Mungkin ia ingin dianggap pintar.

Aku hanya diam jika mereka membahas tentang sesuatu yang tak ada hubungannya dengan nasib pedagang kecil. Di samping tak ada untungnya, ujung-ujungnya keluar cacian.

Pembahasan nasib wong cilik oleh para elite negeri ini saja tak kunjung merubah nasib, apalagi obrolan ngawur orang tak berpendidikan yang asal bunyi tanpa solusi. Inflasi yang terus melambung dan masih banyaknya pengangguran tak hanya cukup dibahas di atas meja dan kursi empuk, harus dengan tindakan nyata. Apalah arti seminar dengan biaya puluhan juta, menghadirkan tokoh terkenal, jika orang lapar masih menjerit. Coba seandainya dana tersebut di berikan kepada yang memerlukan, pasti bermanfaat. Begitu kurang lebih pendapat Pak Kepsek ketika ngobrol santai denganku.
Seperti nasibmu misalnya. Kau sangat membutuhkan kepingan-kepingan rupiah supaya nenekmu yang renta tak pontang-panting berjualan di pasar demi sesuap nasi. Untuk makan saja susah, apalagi untuk membelikan baju seragammu yang mulai kekecilan dan kumal. Sepatumu juga robek di sana sini. Tas pun bernasib serupa.
Kau memang tak peduli, setidaknya dari pengamatanku. Tak pernah kudengar keluh kesah dari bibirmu. Wajahmu datar, jarang tersenyum, namun hebatnya tak pernah bersedih. Kau hanya ingin sekolah, itu saja.

Entah kau tahu atau tidak, komite sekolah pernah merekomendasikan agar kau dipindah ke sekolah lain. Intinya supaya kau tak lagi ada di sekolah ini. Semua anggota komite sekolah sepakat, tinggal mencari alasan yang tepat. Mereka tak mungkin terus terang mengatakan bahwa kau anak pembawa sial. Itu tak bisa diterima akal. Tapi anehnya, akal mereka menerimanya.

Hari pertamamu di sekolah dasar ditandai dengan ambruknya atap ruangan kelas satu. Beruntung tak ada korban jiwa. Ketika itu, semua siswa dan guru sedang berada di lapangan upacara. Entah bermula dari mulut siapa, sehingga peristiwa itu dikait-kaitkan denganmu.

"Ini pasti gara-gara anak haram itu!"

"Ibunya pelacur!"

"Anak pembawa sial!"

"Keluarkan saja dari sekolah!"

Suara-suara sumbang yang awalnya hanya kasak-kusuk akhirnya masuk ke kantor kepala sekolah. Desakan agar kau dikeluarkan dari sekolah mengemuka. Kepala Sekolah yang sejatinya sangat peduli dengan nasib pendidikanmu menjadi tersudut.

"Saya memertanyakan keabsahan syarat-syarat pendaftaran Soleh, Pak Kepsek. Setahu saya ibunya tak punya Surat Nikah. Lalu apa dasarnya sehingga dia bisa terdaftar di SD ini. Yang saya dengar, SD lain menolaknya," gugat Ketua Komite.

Pak Kepsek mengangguk bijak. "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, undang-undang menjaminnya."

"Saya paham, tapi bukan berarti harus menabrak aturan bukan?"

"Aturan dibuat untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan. Soleh memenuhi syarat seperti anak-anak yang lain."

"Dia tak punya Akte Kelahiran, Ibunya tak pernah terdaftar menikah di KUA."

"Dia masuk Kartu Keluarga neneknya," jelas Pak Kepsek. "Asli, bapak boleh mengeceknya."

Masalah tak berhenti di situ. Kejadian-kejadian berbau musibah disandarkan kepadamu. Setelah ambruknya atap ruangan kelas satu, robohnya pagar keliling juga mengundang fitnah. Kau yang sedang menyendiri di sudut pagar, dianggap penyebabnya. Pembelaan Pak Kepsek  yang mengatakan kau tak menyentuh pagar, justru membuat orang-orang semakin yakin kau pembawa sial.

Upacara peringatan HUT RI waktu kau kelas tiga adalah peristiwa paling menghebohkan. Tiang bendera roboh beberapa jam setelah upacara selesai. Hujan lebat disertai angin menjadi saksi rusaknya puluhan genteng akibat tertimpa tiang bendera. Setelah itu musibah-musibah kecil semakin menguatkan tuduhan orang bahwa kau memang pembawa sial.

Tak ada yang salah pada dirimu. Kau lahir normal pada malam jumat kliwon ketika tanggul kali jebol. Persalinan ibumu berlangsung di bidan tetangga desa. Masalahnya adalah kau lahir tanpa pernah tahu siapa ayah biologismu. Tetangga-tetanggamu hanya tahu ibumu sedang hamil tua ketika ibumu pulang dari bekerja di luar negeri.

Ledekan sebagai anak haram sering kau dapatkan hingga kau kelas lima. Lima tahun kau berusaha sabar dengan perlakuan kasar teman-temanmu. Kau tak punya teman. Ketika kau menangis, hanya Pak Kepsek yang sudi membesarkan hatimu. Pria yang mulai menjabat kepala sekolah bersamaan dengam tahun pertamamu masuk sekolah itu, seperti ayah bagimu. Ia tak gentar mendapat ancaman dan hinaan dari orang-orang, bahkan yang kudengar, ia kerap ribut dengan isterinya gara-gara sering membelamu.

Setiap tahun Pak Kepsek membelikanmu peralatan tulis. Pernah juga membelikan sepatu dan seragam baru. Meskipun tidak setiap hari, ia juga memberimu uang jajan. Kau menceritakan semuanya padaku. Kau hanya jajan kue donat dan es lilin di tempatku. Tak pernah kulihat kau jajan di tempat lain. Mungkin ini yang membuat iri pedagang lain yang mangkal di depan sekolahmu.

Orang baik sering mendapat perlakuan buruk. Itu seperti hukum alam tak terbantahkan. Tuhan sedang menguji keikhlasan orang baik tersebut. Begitu pula dengan Pak Kepsek. Ia dituduh selingkuh dengan ibumu yang pernah menjadi kembang desa. Rumahtangganya hampir goyah, namun Tuhan tak pernah tidur.

"Ini belum seberapa dibanding ujian para pendiri republik ini, Mas!" kata Pak Kepsek suatu ketika. Ia pejuang sejati menurutku. Cita-citanya seperti Ki Hajar Dewantara; mencerdaskan anak bangsa.

"Berikan semua yang Soleh minta. Biar nanti aku yang bayar. Titip dia ya? Mulai senin depan aku pindah sekolah," kata Pak Kepsek padaku.

Namun kau tak mau meminta jajan padaku, meski Pak Kepsek sudah berpesan padamu agar mengambil dulu jajananku, semua akan dibayarnya. Kau bukan anak yang aji mumpung. Bahkan ketika aku memberikan sedikit kue padamu, kau menolaknya. Tak tahu kenapa, hanya yang kutahu, kadang kau masih beli es lilin dan jajananku. Pak Kepsek kah yang memberimu uang? Ketika naik kelas enam, kulihat sepatu dan seragammu juga baru.

Kondisi gedung sekolah semakin memprihatinkan, tembok dan atapnya semakin lapuk. Pagar keliling tinggal separuh. Entah kapan akan diperbaiki. Ketika hujan turun, ruangan kelas menjadi basah. Ember penadah air hujan di setiap kelas dan ruangan guru adalah pemandangan biasa. Musibah yang lebih besar sepertinya hanya tinggal menunggu waktu. Betapa pun banyak yang berdoa agar gedung tidak runtuh, namun apakah itu cukup?
Aku khawatir jika gedung tidak segera diperbaiki akan mengundang petaka. Kau bisa dikambinghitamkan lagi. Bukan itu saja yang meresahkanku, namun juga bagaimana nasib murid-murid dan guru yang berada di dalamnya. Sangat riskan jika gedung masih dipakai, sementara ada ratusan nyawa berpotensi celaka.

Aku hanya pedagang jajanan. Tidak paham siapa sebenarnya yang harus  bertanggung jawab atas kelayakan gedung sekolahmu. Seingatku sejak belasan tahun, semenjak aku berjualan di sekolahmu, belum sekali pun ada wacana untuk merenovasi gedung sekolah.

Konon Pak Kepsek sudah bolak-balik –entah menemui siapa dan di mana– mengusahakan agar ada tindak lanjut atas laporannya mengenai kondisi gedung sekolah. Sedangkan, usulannya tentang renovasi swadana masyarakat, ditolak mentah-mentah oleh Komite Sekolah. Kepala sekolah yang baru belum kelihatan kerjanya.

Selang tiga hari sejak kepulangan ibumu dari Taiwan, gedung sekolah akhirnya ambruk juga. Beruntung, kejadian berlangsung ketika malam hari. Besoknya, alih-alih bergotong royong untuk menyingkirkan puing-puing, warga berduyun-duyun ke rumah nenekmu. Mereka mengusir kau dan ibumu karena dianggap pembawa sial. Tokoh masyarakat dan aparat desa tak sanggup meredam amarah masa. Terpaksa kau pergi diiringi tangis menyayat nenekmu dan sorak-sorai warga yang kesetanan.

Entah bagaimana kelanjutan nasibmu. Ujian akhir sekolah tinggal berjarak satu semester. Sangat disayangkan jika kau putus sekolah di usia yang masih dini.

Mungkin seperti inilah gambaran negeri ini, harus menunggu kecelakaan terjadi, baru ambil tindakan. Orang-orang berpangkat silih berganti mengunjungi bekas sekolahmu. Dana puluhan juta cair. Headline media cetak lokal mengeksposnya besar-besaran lengkap dengan gambar close-up seorang lelaki, yang beberapa bulan kemudian gambarnya terpampang di pinggi-pinggir jalan pada musim kampanye pilkada.
*****

Pak Kepsek –meski sudah mantan, namun bagiku dia masih seorang kepala sekolah– tak henti-hentinya menitikan airmata, terbiar mengalir hingga bermuara di jenggotnya yang beruban. Anak-anak, keponakan-keponakan, dan cucu-cucunya bergantian mendaratkan bibir di pipinya yang keriput. Tubuh rentanya juga kerap kali harus memeluk para tamu. Senyumnya tak pernah putus sejak pagi.

Rumah BTN-nya dipadati tetangga, teman lama, guru-guru, dan undangan lainnya. Mobil dan sepeda motor terparkir rapi di sepanjang jalan perumahan. Ini hari yang spesial dalam hidupnya. Dalam usianya yang sudah berkepala tujuh ia bersiap memenuhi panggilan Tuhan untuk memunaikan rukun kelima.

"Aku menantikan saat-saat seperti ini. Belum pernah  kusebahagia ini, juga belum pernah kusesedih ini," ucapnya parau, di hadapan para tamu.

"Jangan sedih, Kek!" ucap seorang cucu seraya menyeka airmatanya yang seolah tak mau habis.

"Kakek teringat nenekmu!"

Sang Cucu memeluk Pak Kepsek. Haru biru mendadak menyelimuti ruangan sempit ini. Beberapa ibu-ibu tampak berkaca-kaca. Tak sedikit pula yang terisak dibuatnya.

"Ibu pasti bahagia di alam sana, Pak!" tutur salah seorang anaknya. Ia menepuk bahu bapaknya.

"Kalian harus ikhlas, seandainya tanah suci menyimpan jasadku. Tak ada yang lebih kurindukan selain meninggal saat berhaji."

Hening menyergap suasana. Tak ada satu pun yang bersuara, hanya suara dedaunan pohon yang bergoyang diterpa angin dan isakan tangis.

Acara walimatulhajji sangat hidmat dan mengharukan. Tibalah saat pelepasan. Pak Kepsek dipapah anak dan cucu menuju mobil sedan biru metallic, yang terparkir di depan rumah.
Sanak keluarga mengekor dibelakang. Para undangan lain berdiri memberi selamat dan doa. Sampai di depan mobil, aku membukakan pintu belakang untuk Pak Kepsek. Ini juga hari spesialku, mengantarnya sampai bandara, satu mobil dengannya.

Aku duduk di depan sebelah kiri. Pak Kepsek duduk di belakang, bersebelahan dengan sopir yang akan mengemudikan mobil ini pulang dari bandara.

"Ini juga hari spesial buat saya, Pak! Lebih indah daripada waktu pertama kali saya berangkat haji, karena mendapat kehormatan menjadi sopir keberangkatan bapak," katamu.

"Aku tak bisa berangkat haji jika bukan kau yang membayar ongkosnya. ONH plus lagi!" tukas Pak Kepsek.

Kau menggeleng, "Haji itu panggilan Allah. Bapak bisa berangkat karena rahmat dan karunia-Nya. Uang dan lainnya hanya sarana. Semua datang dari-Nya. Bukan begitu, Om?" kau mencolek lenganku.

Aku mengangguk. Terbayang kembali peristiwa-peristiwa tiga puluh tahun lalu. Ketika kau sering diejek teman-temanmu dan ketika kau terusir dari desamu. Kala ibumu tak tahu akan menitipkanmu kepada siapa, Pak Kepsek menampungmu di rumah dinas yang baru dan memasukanmu ke SD yang baru dikepalainya. Tuhan Maha Adil. Kau membalas budinya dengan sesuatu yang sangat diimpikannya; memenuhi panggilan Tuhan untuk berhaji.

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Ketika Pak Kepsek Dipanggil Tuhan"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.