Sakura Mekar Di Langit

Membakar Api

Cerpen Membakar Api oleh Akhmad Al Hasni


Bulan terjepit di antara pohon kelapa dan beringin. Cahayanya jatuh menguning di semak belukar. Bintang-bintang berlomba mengerling kepadaku yang terbaring resah di atas kursi bambu. Angin mendesah pelan, mengantar suara jangkrik yang saling berderik. Nyamuk-nyamuk nekad menerobos kepulan asap anti nyamuk bakar, beberapa di antaranya berhasil menggangguku. Tidak hanya puas menusuk kulit tapi juga meneror telinga dengan suara bisingnya.

Berjaga di rumah kosong pada malam hari adalah sesuatu yang konyol. Tak ada barang berharga di dalamnya. Hanya dua buah tempat tidur usang dan satu set meja kursi lapuk, dua ruang tidur, satu ruang tengah, satu ruang depan dan kamar mandi yang berhadapan dengan dapur. Sekarang rumah tersebut sudah menjadi istana laba-laba karena tak pernah lagi ditempati sejak kakek meninggal dunia dua tahun lalu. Hanya saja bapak kadang mengunjunginya, sekadar melihat kondisinya.

Malam ini, kami sekeluarga berjaga karena bapak mendapat ancaman, rumah ini akan dibakar Lik Seno, adik bungsu bapak. Lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu selalu mencari masalah. Ia merasa punya hak atas rumah ini. Bapak tak mau membaginya karena merasa ini adalah haknya.

Sebelum meninggal, kakek sudah membagikan harta kepada anak-anaknya. Rumah ini diberikan kepada bapak. Tanah pekarangan di dekat balai desa diberikan kepada Lik Jumron. Sawah di sebelah kanan rumah ini diberikan kepada Lik Seno. Semua legowo menerima pembagian ini. Namun cerita berubah setelah uang hasil penjualan sawah Lik Seno habis. Ia mengungkit-ungkit lagi masalah warisan. Ia meminta bagian hasil penjualan tanah warisan yang sudah diberikan kepada Lik Jumron. Karena tidak tega, Lik Jumron memberinya beberapa juta rupiah. Belum puas, Lik Seno meminta bagian rumah ini, tentu saja bapak tak mau memberikannya. Sejak itu Lik Seno selalu membuat ulah. Kemarin ia mengancam akan membakar rumah ini. Bapak yakin ancaman Lik Seno bukan sekadar gertakan. Ia tahu benar watak adiknya itu. Semua keinginannya harus dipenuhi. Jika tidak, Lik Seno akan menggunakan segala cara untuk mendapatkanya. Dan ia adalah orang yang bisa dipegang kata-katanya, termasuk ancamannya.

Lik Seno sebenarnya pekerja keras. Ia pengrajin bambu. Jika sedang sepi pesanan, ia menarik ojek. Sayang hobi minum-minuman keras dan berjudi membuat rumah tangganya berantakan. Wataknya juga sangat keras dan mudah tersinggung. Beberapa kali ia berurusan dengan kepolisian gara-gara berkelahi  atau menganiaya orang. Banyak yang takut berurusan dengannya. Jika sedang kalap, ia akan melakukan apa saja untuk menuruti hawa nafsunya.

"Lik Seno tak akan datang, Mas. Ia pasti sedang mabuk," ujar Beno, adikku yang sejak tadi berjaga di belakang rumah. Ia memberi isyarat agar aku memberinya tempat duduk. Aku menarik kedua kakiku lantas menekuknya.

"Tapi bapak sangat yakin kalau Lik Seno akan datang. Kamu tetap standbye di belakang rumah. Atau kamu mau tukar posisi?"

Beno menggeleng. Ia merapatkan jaketnya, mengambil kretek dari sakunya lantas membakarnya dengan korek gas.

"Beri aku sebatang rokok dan koreknya," pintaku.

"Sejak kapan Mas Adi merokok?" Beno memberikan rokok dan koreknya kepadaku.

"Sejak Lik Seno menjadi iblis!"

Beno tersenyum. Dikiranya aku sedang bercanda. "Kalau Lik Seno datang apa yang akan kita lakukan?"

"Aku akan membakarnya, seperti ia mau membakar rumah ini."

Beno tergelak. "Api tak bisa memadamkan api. Aku tak yakin kamu berani melakukannya. Membakar rokok saja kamu tak becus."

"Kalau kamu?" Aku balik bertanya.

"Entahlah. Dia itu paman kita, maka itu bapak tak mau lapor kepada Pak Kades, apalagi polisi. Bapak ingin semua diselesaikan secara baik-baik tanpa campur tangan pihak lain."

"Lik Seno tak bisa diajak musyawarah. Dia itu iblis yang tak akan pernah mau tunduk kepada manusia. Kau tahu, iblis itu diciptakan dari api. Dan kelak iblis akan siksa dengan api neraka," kataku kesal.

Beno menepuk pundakku. "Dia paman kita. Api di hatinya cukup kita siram dengan kasih sayang."

"Pamanmu, bukan pamanku,” sergahku. “Dia itu iblis. Tak akan kalah dengan siraman kasih sayang. Api harus dibakar dengan api lagi!"

Sejujurnya aku hanya pura-pura marah. Aku tak akan berani membakar pamanku sendiri. Tapi jika terpaksa, aku akan melakukannya, agar tak berani mengusik bapak lagi.

"Bagaimana caranya?" tanya Beno, menatapku sangsi. "Api tak bisa dibakar dengan api. Sekarang yang penting bagaimana meredam amarah Lik Seno."

"Iblis akan dibakar di neraka, bukan ditenggelamkan di samudera. Itu berarti api bisa dibakar dengan api."

"Tapi dia paman kita, bukan iblis!" Beno sepertinya mulai kesal denganku. Entah ia percaya atau tidak kalau aku punya nyali untuk membakar Lik Seno. Rencanaku matang, sudah aku pikirkan sejak lama.

Bapak dan ibu menghampiri kami. Bapak membawa sepiring singkong goreng, sementara ibu membawa baki berisi 4 cangkir kopi panas. Mereka sepertinya sudah selesai merapikan rumah.

"Bapak yakin Lik Seno akan datang? Kalau ingin membakar rumah ini kenapa harus bilang?” tanya Beno. “Dia bisa langsung membakarnya. Menurutku ini hanya gertakan saja."

"Kalau langsung membakar rumah ini, dia tak akan mendapat apa-apa. Ini memang gertakan. Tapi dia akan benar-benar melakukannya, kalau bapak masih belum memenuhi keinginannya," jawab bapak.

"Dan bapak tetap tak akan memberikannya bukan?" tanya Beno.

Bapak diam. Pandangannya tertambat ke rumah yang sudah lapuk. Di sanalah ia lahir dan tumbuh. Rumah seluas sembilan puluh meter persegi itu banyak merekam kenangan. Ia tak akan menjualnya. Bahkan ketika ada yang menawar 110 juta rupiah, ia tak melepasnya. Padahal untuk ukuran  kampung ini, penawaran tersebut termasuk tinggi.

"Bukannya bapak tak mau membantu kesulitan Lik Seno. Bapak hanya tak ingin menjual rumah ini, apalagi Lik Seno itu suka menghamburkan uang untuk judi dan minum. Bapak tidak suka," timpal ibu, seolah menjadi juru bicara bapak.

"Bapak menunggunya di sini karena masih sayang sama dia. Bapak akan memberi penawaran padanya. Semoga saja dia setuju. Kalau tidak..." Bapak menggantung kalimatnya. Ada kegelisahan pada tatapan matanya.

"Kalau tidak, akan saya bakar dia, Pak!" kataku bersemangat. Aku bangkit dan mengambil dua buah jirigen plastik, lalu aku tunjukan kepada bapak, ibu dan Beno.

"Apa itu, Nak?" tanya ibu.
"Bensin! Kita lihat siapa yang lebih cepat, apakah Seno atau aku?"

"Adi!" hardik ibu. Wajahnya cemas bukan kepalang. "Hati-hati kalau bicara. Tak ada yang akan terbakar malam ini. Simpan minyakmu itu!"

"Adi tidak serius, Bu!” ujar Bapak. “Sudahlah, jangan berpikir yang aneh-aneh. Kita tunggu saja dia,"

Aku ingin membantah ucapan bapak, tapi tidak jadi. Tak perlu kuumbar rencana ini. Lihat saja nanti.

Setelah menunggu sampai jam sebelas malam lebih, akhirnya Lik Seno datang juga. Ia datang dari belakang rumah. Wajahnya seram. Matanya terbelalak, memandangi kami satu persatu.

"Dinding rumah ini sudah aku siram dengan minyak tanah. Sekarang alasan apalagi yang akan sampeyan katakan untuk mempertahankan rumah warisan ini?" Lik Seno mengacungkan botol berisi minyak tanah yang lubangnya disumpal kain sumbu. Jika dinyalakan, kemudian dilemparkan ke rumah itu, akan sulit dipadamkan.

"Duduklah! Mari kita bicarakan," bujuk bapak. Ia mendekati adiknya itu perlahan. Beno dan ibu tampak panik. Aku bersiaga, menunggu situasi yang tepat.

"Jangan ada yang mendekat! Kapan saja, aku siap membakar rumah ini. Sekarang aku hanya butuh kepastian. Ini terakhir kali aku bertanya. Aku masih mendapat bagian rumah ini atau tidak?" Ada ribuan atau jutaan iblis sedang pesta di matanya. Keremangan malam tak bisa menyembunyikan nyala api kemarahannya.

"Kamu boleh menempati rumah ini. Rawatlah, tapi jangan sampai dijual. Bagaimana?" tawar bapak.

"Tidak! Aku hanya butuh uang tunai senilai sepuluh persen dari harga jual rumah ini. Terserah, rumah ini mau dijual atau tidak. Aku cuma minta 10 juta rupiah. Kalau tidak, aku bakar rumah ini!" Lik Seno mengacung-acungkan botol di tangan kanan dan korek gas di tangan kiri.

"Istighfar, No!" jerit ibu ketakutan. Ia akan mendekati Lik Seno namun buru-buru Beno mencegahnya.

Byurrr! Kumuntahkan isi jirigen yang sudah kusiapkan  ke badan Lik Seno. Ia celingukan, mencari orang yang mengguyurnya. Belum hilang keterkejutannya, aku kembali menyipratkan bensin ke mukanya. Ia mengucek-ucek mata. Aku yang sedari tadi bersembunyi di balik semak segera keluar. Saat ia berhasil membuka mata, yang terlihat pertama kali adalah korek gas yang kuacungkan di depan mukanya.

"Aku tidak main-main. Sekali kunyalakan korek ini, maka tubuhmu akan terbakar. Jangan uji keseriusanku. Aku akan bakar iblis di dalam tubuh, jika masih mengganggu bapak. Lebih baik aku habiskan sisa hidupku di LP daripada punya paman seorang iblis!" Aku tatap mata Lik Seno yang berkabut. Tak ada lagi kilatan api di sana. Hanya ketakutan yang kulihat. Napasnya tak teratur. Gigi-giginya saling beradu karena bergetar.

"Jangan, Nak!" jerit ibu, memelukku dari belakang.

"Lik Seno harus bersumpah tidak akan meminta bagian rumah ini jika tak ingin terbakar!" suruhku mengancam.

Lik Seno tak bergeming. Ia masih bungkam. Dalam keadaan tertekan seperti sekarang ini, ia masih bisa tenang. Dasar mental preman.

"Aku hitung lima kali. Satu.."

"Sudah, HENTIKAN!" Ibu mengguncang bahuku.

"Dua.." aku tetap menghitung meski ibu berusaha menarik tubuhku.

Bapak mencoba meredakan ketegangan. "Kita musyawarahkan bersama. Masing-masing harus menahan diri. Jangan turuti nafsu setan.”

"Tiga.."

Lik Seno masih diam. Tampaknya ia tak yakin dengan ancamanku.

"Empat.."
"Mas Adi sudahlah, kasihan ibu," Beno membimbing ibu menjauhiku.

Kunyalakan korek gas lalu membakar rokok yang sudah kusiapkan sebelumnya.

"HENTIKAAAN!!!" suruh ibu sambil meronta dari dekapan Beno.

"LI-MAAA!!!" Rokok kulempar ketubuh Lik Seno, tak peduli jeritan ibu yang sangat menyayat hati. Lik Seno berguling-guling di tanah sambil berteriak seperti cacing kepanasan.

Bapak, ibu, dan Beno, kompak ternganga melihat kejadian yang aku yakin tak pernah terlintas dalam pikiran mereka. Lik Seno sangat ketakutan dan baru berhenti bergulingan di tanah ketika menyadari tak sedikitpun api menyentuh tubuhnya. Tadi itu, aku mengguyur badannya dengan air sumur. Sebelum ia menyadari sedang tertipu, aku cipratkan bensin ke mukanya untuk mengalihkan perhatiannya dan memberi kesan semua cairan di tubuhnya adalah bensin. Ini baru trik pertama.

"Bajingan! Kamu cuma menggertak!" Gigi Lik Seno gemeletuk menahan amarah. Ia berusaha berdiri. Tapi sebelum badannya tegak, aku terlebih dulu menyiramnya dengan bensin betulan.

"Tadi salah ambil Lik Seno!” kataku, menyeringai. “Sekarang yang ada di tubuhmu benar-benar bensin. Sampeyan sudah lihat, aku tak hanya menggertak. Kali ini aku hitung cuma dua kali. Dimulai dari sekarang. SATU!"

Wajah Lik Seno pias. Napasnya memburu. Tatapannya pasrah. Sepersekian detik, saat bibirku bergerak, ia mengangkat kedua tangannya. "Baiklah, aku mau bersumpah tapi jauhkan api dari tubuhku!" kata Lik Seno seraya melepaskan baju. Ia adalah orang yang bisa dipegang kata-katanya.
*****

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Membakar Api"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.