Sakura Mekar Di Langit

Cakep Yang Tertunda

Cerpen Cakep Yang Tertunda


Angin memainkan rambutnya yang panjang tergerai. Ujungnya menari ke sana ke mari. Dari kejauhan tampak berkilau seperti model iklan shampo yang kerap tayang di televisi. Tyas tampak anggun dengan rambut lurusnya yang panjang sebahu. Sangat serasi dengan wajahnya yang oval dan posturnya yang tinggi langsing. Parasnya di atas rata-rata, namun tidak terlalu cantik.

"Dia mencuri hatimu.  Kamu mencuri pandang kepadanya. Sebenarnya kamu diam-diam suka, apa suka diam-diam mencuri pandang?"

Indra menangkap basah aku sedang memerhatikan Tyas. Sebentar lagi mulutnya pasti berbusa. Dialah biang dari gosip yang menyebar di seluruh penjuru sekolah. Membuat isu bahwa aku naksir pada Tyas, kemudian mendramatisir seolah-olah cintaku bertepuk sebelah tangan. Fakta yang sesungguhnya, aku tidak punya perasaan cinta kepada Tyas. Gadis itu pun tak pernah menolak cintaku karena aku tak pernah mengungkapkan perasaanku kepadanya.

"Tyas belum punya pacar. Tak ada yang berani mendekatinya. Kau tahu kenapa? Dia ketus, sombong, dan jual mahal. Satu lagi dia tidak suka..."

"Orang jelek sepertiku!" Aku memotong kalimat Indra.

Indra garuk-garuk kepala. "Bukan itu yang aku maksud. Dia tidak suka pacaran. Dia sukanya berkhayal, menulis cerpen dan puisi."

"Aku ngga tanya," tukasku kesal. "Lagi pula aku ngga suka sama Tyas. Jadi tolong jangan meledekku lagi."

"Kamu bisa membohongiku tapi ngga bisa bohongi diri sendiri."

"Terserah! Aku malas ngomong sama kamu."

Aku tinggalkan Indra sendirian. Sambil memunggunginya aku masih mendengar kekehannya. Pasti ia merasa puas, sudah membuatku kesal.

Aku tidak merasa terganggu dengan gosip tersebut. Yang membuatku jengkel adalah anak-anak membicarakannya dengan nada melecehkan. Mereka membandingkanku yang jelek dan bodoh dengan Tyas yang cantik dan pandai.

Aku memang jelek. Badanku pendek gempal. Kulitku seperti ubi gosong. Wajahku bundar. Hidungku pesek. Nilai pelajaranku juga pas-pasan. Bisa naik kelas saja, aku sudah bersyukur.
*****

"Ini kamu sebut cerpen?" tanya Tyas dengan dahi mengernyit. Tangannya mengacung-acungkan flashdisk yang di dalamnya ada file microsoft word berisi cerpen. Kemarin aku mengirim naskah cerpen kepadanya untuk majalah dinding sekolah. Ia adalah editornya.

"Sudah dibaca?" tanyaku.

"Naskahmu jelek. Belum layak muat." komentarnya seraya menyerahkan flashdisk kepadaku.

"Jeleknya dimana?" tanyaku bingung.

"Sudah aku tandai apa yang perlu direvisi," ujarnya ketus sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.

Aku bersungut-sungut. Jangankan untuk media cetak, majalah dinding pun menolak naskahku. Mungkin aku tidak berbakat menulis. Buktinya kebanyakan orang berkomentar tulisanku jelek.
*****

Edi memainkan dawai-dawai gitarnya. Pick ia jepit diantara jempol dan telunjuk tangan kanan untuk menekan senar turun naik. Jari-jari tangan kirinya bergerak cepat menyentuh kolom-kolom freet. Ia sedang memainkan melodi pembuka lagu Hotel California. Sementara Aji yang juga memainkan gitar, mengiringinya dengan sentuhan rhytm. Aku yang didaulat sebagai vokalis bersiap menunggu momentum untuk menyanyikan liriknya. Lagu ini intronya cukup lama, sehingga aku memiliki banyak waktu untuk menyesuaikan dengan nada dasarnya. Saat sampai giliranku untuk masuk ke dalam lagu, Edi memberiku kode.

On a dark desert highway
Cool wind in my hair
The warm smell of colitas
Rising up through the air
Up ahead in the distance
I saw a shimmering light

"Stop!" teriak Edi. Ia menghentikan permainan gitarnya. Aji menuruti kata-kata Edi. Pun aku yang kebingungan, kenapa lagu harus dihentikan.

"Suaramu fals!" tunjuk Edi ke mukaku.

"Ngga cuma fals tapi juga tidak enak di telinga," timpal Aji.

"Suaraku jelek?" tanyaku pura-pura tak tahu. Sebenarnya aku juga menyadari hal itu. Tapi keterusterangan mereka melukai perasaan.

"Kamu sendiri yang bilang. Aku cuma bilang ngga enak di telinga," jawab Aji diplomatis.

"Ya sudah, kamu saja yang nyanyi," kataku gusar.

"Untuk senang-senang sebenarnya ngga masalah dengan suaramu. Tapi suara fals itu mengganggu harmonisasi nada," kata Edi. Kalimatnya lebih halus, meskipun ujung-ujungnya sama saja; menyakitkan!
*****

Aku bersembunyi di balik lemari yang menjadi pembatas antara ruang makan dan dapur. Dari sini, aku ingin mencuri dengar komentar bapak tentang nilai rapor yang baru saja ibu berikan padanya.

"Lumayanlah, Bu!" ujar bapak. "Setidaknya tidak terlalu jauh dengan nilai rata-rata kelas."

"Kalau seperti ini terus, susah untuk bisa menembus perguruan tinggi negeri, Pak!" sergah ibu.

Terdengar bapak sedang mendesah. Sementara ibu tampaknya menunggu komentar bapak lebih lanjut.

"Sebagai orangtua, kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Memasukannya ke bimbingan belajar, memberinya les privat, dia juga selalu belajar di rumah. Kita tak bisa menekan dia untuk mendapatkan nilai yang lebih bagus lagi, Bu!"

"Bukan menekan, Pak. Kita motivasi dia biar nilainya lebih baik lagi."

"Sudahlah, dia sudah berusaha melakukan apa yang seharusnya."

"Akh! Bapak ini kalau diajak tukar pikiran pasti begitu. Ibu cuma ingin dia bisa melakukan lebih dari yang sudah-sudah. Apakah ibu salah?"

"Bapak tahu maksud ibu. Hanya saja kita harus menghargai usahanya. Dia penurut, tidak suka yang aneh-aneh. Kita harus menghargai jerih payahnya."

Hening. Tak ada sahutan dari ibu. Pasti ia sedang kesal dengan bapak. Aku jadi merasa tak enak hati. Mereka selalu berdebat jika menyangkut prestasi sekolahku. Jika nilaiku tidak jelek pasti ini tak akan terjadi.
*****

Haji Romli mengangguk-anggukan kepalanya setelah mendengar keluhanku. Aku baru saja mengungkapkan kegundahanku tentang nasib jelek yang aku terima. Fisik jelek, tulisan prosa jelek, suara jelek, nilai sekolah jelek dan pasti masih banyak kejelekan-kejelakanku yang belum aku sadari.

"Apa kamu merasa ndak nyaman dengan kondisi seperti itu?" tanya Haji Romli.

"Ya, Pak Haji!" jawabku.

Beliau kembali mengangguk-anggukan kepala.

"Bukannya ngga bersyukur dengan apa yang sudah ada," belaku, "Tapi saya juga manusia biasa. Saya punya perasaan. Selama ini saya sudah bersabar, tapi sampai kapan?"

"Jangan berikan batasan pada kesabaran. Sabar itu ndak ada batasnya. Kamu bisa bersabar itu menakjubkan! Kesabaran itulah yang akan menjawab kegundahanmu selama ini. Jelek itu sementara. Tak ada yang abadi di dunia ini. Kejelekan akan berubah dengan keindahan."

"Maksudnya apa, Pak Haji? Apa saya bisa cakep tanpa operasi plastik?" selorohku.
Haji Romli mengangguk mantap. Mimiknya kelihatan serius. "Ndak hanya wajah saja, posturmu juga akan indah. Suaramu akan merdu. Pokoknya apa yang kamu inginkan akan menjadi kenyataan."

Aku terlonjak gembira. "Serius?"

"Serius!" jawab Haji Romli, memberi penekanan pada ucapannya. "Jelek adalah cakep yang tertunda."

Aku tertawa lebar. Haji Romli pandai bercanda juga ternyata. Namun tawaku seketika sirna demi melihat wajah seriusnya. Aku menunduk malu.

"Kamu ingin cakep ndak?" tanyanya. Kepalanya ia majukan ke arahku.
Meskipun pertanyaannya terasa aneh tapi aku terpaksa mengangguk.

"Syaratnya kamu harus bersabar. Seperti yang sudah saya katakan tadi, jangan berikan batasan pada kesabaran. Jangan turuti hawa nafsu. Jangan tinggalkan salat berjamaah di masjid. Rajinlah membaca Alquran. Dengan membaca ayat-ayat Allah hatimu akan tenang. Biasakan salat malam. Insya Allah kamu akan cakep."

"Cakep hatinya, Pak Haji?"

"Wajahmu juga cakep!"

Aku melongo, semakin bingung dengan ucapan Haji Romli. "Terus cakepnya kapan?"

“Allah berfirman dalam surat Al Furqaan ayat ke-75, yang artinya: mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya."

"Maksud ayat itu apa, Pak Haji?"

"Orang sabar balasannya surga. Maka itu jadilah orang yang sabar. Semua penghuni surga berwajah cakep meskipun waktu di dunia berwajah jelek."

Aku mengangguk-anggukan kepala beberapa kali meniru gaya Haji Romli.
*****

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Cakep Yang Tertunda"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.