Sakura Mekar Di Langit

Pengantin Pria

Cerpen Pengantin Pria oleh Akhmad Al Hasni


Jika bukan karena garis bekas luka di rahang kirimu, mungkin aku tak mengenalimu. Luka itu akibat goresan pecahan botol kaca, saat kau dikeroyok belasan orang, lima tahun silam. Pengeroyokan yang menurutmu dilatarbelakangi kecemburuan, berlangsung singkat. Kau sedang mabuk berat ketika serombongan orang tiba-tiba memukul dan menendangmu secara membabi-buta. Sebelum kesadaranmu hilang, kau masih sempat melihat seorang di antara mereka, menghantamkan botol bir ke kepalamu.

Tiga hari terkapar di rumah sakit, menumbuhkan kesumat. Seminggu kemudian kau membalaskan dendam dengan cara yang lebih sadis, bukan botol bir seperti yang ia lakukan, cukup botol kemasan air minum. Bedanya, kau tak memukulkannya, namun membuka tutup botol, lantas menyiramkan isinya yang berupa air keras ke mukanya.
Luka-luka di tubuhmu bisa sembuh segera, meski meninggalkan bekas, namun luka bakar di wajahnya, cukup membuatnya menanggung penderitaan seumur hidup, wajahnya rusak berat. Hebatnya, kau tak lari seperti yang ia lakukan. Kau menyerahkan diri ke pihak yang berwajib. Vonis tiga tahun penjara dan membayar semua biaya perawatan rumah sakitnya pun kau terima dengan lapang dada.

Tak akan pernah ku lupakan kasus itu, sebab aku terpaksa harus menjadi saksi di persidangan. Sungguh memuakan, mengingat aku tak tahu-menahu permasalahannya.
Jujur, aku menyukaimu sejak dulu. Sebuah perasaan yang sulit kumengerti sebenarnya. Sejak kapan, aku tak tahu. Rasa itu tiba-tiba saja bersemayam di hati. Aku menyadarinya ketika mulai gelisah bila sehari saja tak bertemu denganmu. Ini sungguh gila, dari segi apa pun kau tak menarik. Wajahmu biasa-biasa saja, hanya sedikit di atas kebanyakan. Akhlakmu payah, cenderung brengsek.

Mungkin karena kau selalu ada saat kubutuh pendengar. Kau selalu memasang telinga baik-baik, menatapku penuh empati, mendengarkan dengan antusias  sampai selesai. Bahkan meski kadang otakmu mesum, kau tak menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Kau pinjamkan bahumu dengan tulus, di sana kutumpahkan semua airmataku. Kemudian, dengan canggung kau belai rambutku. Ya, kecanggungan  itulah yang membuatku yakin, kau melakukannya dengan tulus. Sayangnya, kau terlalu bodoh untuk menangkap perasaanku. Sesering apa pun kumemberi tanda, pada akhirnya menguap bersama ketidakpekaanmu.

Masalah berawal saat ia berusaha meraih hatiku. Ia memang lebih brengsek darimu. Baru pedekate saja cemburunya selangit. Otaknya juga lebih picik darimu, melampiaskan kecemburuannya dengan cara pengecut. Maka, terjadilah pengeroyokan itu, yang kau balas dengan cara yang lebih gila.

Empat tahun! Ya, empat tahun kita baru bertemu sejak hakim membacakan vonis atas dakwaanmu. Tiga tahun kau lewati di penjara, dan satu tahun entah kau habiskan di mana. Yang aku tahu sekarang kau berubah. Lihatlah penampilanmu yang mirip ustadz muda di layar televisi. Baju koko dengan bordiran di tepi barisan kancing. Kopiah putih menutupi rambut setengah pelontos. Celana hitam menggantung di atas mata kaki. Jenggot tipis merambat di dagu dan atas rahang.

"Bagaimana, sudah ingat siapa aku?" tanyamu.

"Ya, kamu berubah drastis," jawabku.

Kau tersenyum lebar. Mungkin hanya senyum saja yang tak berubah, masih membuat jantungku berdetak tak beraturan.

"Apakabar, Ukhty?"

"Baik," jawabku. Seingatku, baru kali ini kau menanyakan kabarku. Pertanyaanmu terdengar tulus, bukan basa-basi. Ukhty? Kedengarannya aneh, telingaku terasa seperti sedang digelitik.

“Aku datang ke sini untuk meminta maaf,” ucapmu pelan.

“Sudah kumaafkan semuanya. Aku sudah melupakan peristiwa itu.”
"Terima kasih."

Aku mengangguk. Kau pasti tak tahu, karena kau tak memandangku. Kentara sekali, kau menghindar bersitatap denganku. Padahal dulu, matamu selalu menyisir lekuk tubuhku, bahkan pernah tanganmu usil merayap ke paha, dan aku spontan bereaksi dengan meninju hidung belangmu.

“Sulit dipercaya, yang ada di depanku adalah kau. Apakah sekarang kau menjadi ustadz?"
Kau tersenyum seraya menggeleng pelan. "Aku hanya ingin berusaha lebih baik. Sosok yang kau lihat ini, belum tentu lebih baik dari yang dulu kau kenal. Bisa saja aku lebih brengsek.  Jangan melihat pakainku, penampilan bisa menipu.”
*****

“Berhijab itu bukan perkara siap, atau tak siap. Ajal datang kapan saja, bahkan saat kau merasa belum siap sekali pun.”

“Aku masih merasa kotor, belum pantas mengenakan hijab.”
“Kapan kau merasa pantas mengenakannya?”
Aku menggeleng. “Entahlah.”

“Seminggu lagi? Setahun lagi? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun?”
Aku diam.

“Jangan terperangkap dengan pemahaman keliru yang menganggap hijab hanya untuk orang-orang suci. Berhijab merupakan bentuk ketaatan, tak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Membuka aurat adalah maksiat.”

Kau sangat intens menyuruhku menutup aurat. Caramu menyampaikan lugas tanpa kompromi. Dalihku untuk menunda berhijab, kau mentahkan dengan dalil-dalil langit yang membuatku merinding, terutama kisah-kisah penyiksaan di neraka tentang orang-orang yang dengan senang hati mempertontonkan auratnya.

Akhirnya aku berhijab juga. Kedengarannya seperti terpaksa bukan? Memang benar, awalnya aku melakukannya karena malu kepadamu. Motivasi lain yang tak kau ketahui, aku takut kau menjauh jika belum juga mengikuti nasehatmu. Sebongkah perasaan yang belum sepenuhnya mati, mendesakku untuk melakukan apa saja yang kau pinta.

Ketika mulai sadar motivasiku salah, rasa itu masih tertinggal, terjepit di antara rasa bersalah dan segenggam asa. Kau begitu memesona dengan sosokmu yang baru. Kau ajarkan kepadaku cara belajar dari kesalahan. Semakin besar kekagumanku, karena untuk yang satu ini, kau menyampaikannya dengan santun dan bahasa yang lembut, bukan seperti saat kau menyuruhku berhijab.

Kau masih saja enggan di sebut ustadz, walau keluasan ilmu dan perangaimu mencerminkan itu.

“Tak harus menjadi ustadz untuk menyampaikan amar ma’ruf dan nahi munkar. Setiap kita berkewajiban menyampaikannya walau satu ayat.”

“Apa kau juga berdakwah kepada teman-teman nongkrongmu dulu?”
“Aku memulainya dari orang-orang terdekatku.”
“Kau menganggapku orang terdekatmu?”
“Tentu saja.”
*****

Lima bulan menghilang, akhirnya kau kembali menemuiku. Meski tak ada yang berubah, aku merasa ada sesuatu yang lain pada dirimu, entah apa. Berkali kusisir penampilanmu, mencerna ucapanmu, mengamati gesturmu, semuanya wajar. Barangkali ini hanya perasaanku saja.

Kau bercerita tentang pernikahan masal di pesantren, tempat dulu kau menuntut ilmu. Pesantren yang tak kau sebut di mana keberadaannya itu setiap tahun menikahkan santri lelaki dengan santri perempuan. Mereka dijodohkan oleh Kiyai, semua menerimanya dengan ikhlas, percaya bahwa pilihan Sang Kiyai adalah yang terbaik.

“Kau tak dijodohkan?” tanyaku hati-hati, berusaha sewajar mungkin.
“Aku sudah punya pilihan sendiri,” jawabmu. Matamu berbinar, sementara hatiku dag-dig-dug-der! Jika bukan aku pilihannya, maka aku belum siap untuk menerima kenyataan. Jika aku, itu juga mustahil. Kau tentu tak akan memilih perempuan yang belum becus menutup aurat.

“Kapan kau akan menikah?” tanyaku dengan nada gemetar.
“Tinggal menunggu restu Kiyai.”

Hatiku semakin tak menentu. Pikiranku kacau, mencoba memelihara asa yang kian terjepit. Kumaki diri sendiri karena berharap terlalu banyak kepada lelaki yang sepertinya tak akan menambatkan hatinya kepadaku.

“Pilihanmu pasti seorang yang salihah,” ucapku parau, memancingmu menyebut sebuah nama. Gobloknya, aku masih berharap kau menyebut namaku.
Insya Allah.”
“Mohon do’anya. Aku sudah tak sabar, ingin menjadi mempelai prianya.”
Lemas terasa sepasang lutuku. Langit seperti runtuh menimpaku sendirian, sementara kau terbang dengan sayapmu, tak peduli akan keadaanku. Dengan harapan yang tersisa aku berkhayal, kau akan memintaku menikah denganmu, di detik-detik terakhir sebelum kau berlalu dari hadapanku. Kemudian aku akan menghambur ke kamar, menjatuhkan tubuhku di kasur dengan hati berbunga-bunga.
“Apakah aku mengenalnya?”

“Tidak.”
*****

Embun mulai menguap terserap panas sinar matahari yang bergerak malas. Harapanku bernasib serupa dengan embun-embun itu. Sejuk di awal, lantas perlahan sirna. Sebulan ini, hari-hari terasa begitu lama. Kau kembali menghilang, sedangkan aku menghabiskan siang malam dengan mengutuk diri sendiri. Luka ini akibat kebodohanku. Tak adil seandainya aku membencimu. Celakanya, aku sering menulis namamu berbaris-baris di buku harian, kemudian menyobeknya tanpa ampun.

Mengenang hari-hari saat bersamamu menjadi rutinitas memuakan. Entah kenapa aku lebih merindukan sosokmu yang dulu, ketimbang pribadimu yang baru. Benar, bahwa kau berubah ke arah yang lebih baik, namun aku merasa asing dengan dirimu yang sekarang.
Drrrttt drrrttt. Ponselku bergetar. Bolaku nyaris melompat, menemukan namamu di layar ponsel.

Assalamu alaikum,” ucapmu.

Waalaikum salam,” jawabku dengan hati berdebar-debar.

“Mohon doa restunya. Sebentar lagi aku akan menikah. Aku minta maaf, jika masih ada salah yang belum termaafkan.”

Bibirku bergerak-gerak, tak sanggup bicara. Badanku bergetar. Tanganku seperti tak mampu menyangga ponsel agar tetap menempel di telinga.
“Sekarang aku berada di hotel milik orang-orang kafir. Hari ini bidadariku sudah menunggu. Maafkan aku...”

Tanganku reflek melontarkan ponsel saat telingaku mendengar ledakan dahsyat yang sangat memekakan. Jantungku seperti berhenti. Keringat dingin mengucur deras. Kepala terasa pusing. Pandanganku mulai kabur, lalu aku tak ingat apa-apa lagi.


Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Pengantin Pria"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.