Sakura Mekar Di Langit

Inner Beauty

Cerpen Inner Beauty oleh Akhmad Al Hasni


Kau tebarkan senyum di ruangan resepsi pernikahan Bang Reza. Melenggang di atas karpet merah selayak catwalk. Puluhan pasang mata tersorot padamu, bak model terkenal. Selangkah demi selangkah menuju panggung pengantin.

Kau menjadi pusat perhatian karena berbeda dengan lazimnya tamu-tamu yang hadir di ruangan ini. Gaunmu tak semewah mereka yang bermerek terkenal atau dari butik kondang. Sepatu berhak wajar, tas sederhana, dan tanpa perhiasan sama sekali.

Kecantikanmu sangat natural. Wajah oval kuning langsat terbalut hijab hitam, tanpa make-up berlebih, hanya sapuan bedak tipis. Bibirmu merah ranum alami. Parasmu memikat dengan tahi lalat kecil di ujung hidung yang mancung.

Meski berbeda, kau tak terkesan kampungan. Kesahajaan tidak lantas membuatmu tenggelam, justru menjadi bintang. Penampilanmu sinergi dengan tema back to nature yang diusung pada pagelaran acara ini.

Acara megah yang dihadiri para pesohor serta orang-orang penting ini tak lagi sekedar jamuan resepsi pengantin, namun berubah menjadi ajang fashion show dan pameran perhiasan. Mereka berlomba-lomba menjadi yang paling wah. Jutaan rupiah mereka gelontorkan untuk mendapatkan gaun terbaik, paling up to date, paling menarik, dan paling mahal. Meski biasanya, paling-paling kebanyakan mereka hanya menyewa.

Aku tak habis pikir, kenapa kau harus menuai cibiran hanya karena berbeda. Kasak kusuk, bibir bertemu telinga, berpasang-pasang mata mengikuti gerakmu, menelanjangi penampilanmu dengan pandangan merendahkan. Sepertinya mereka lupa atau pura-pura lupa, mungkin juga tahu tapi tak mau tahu, bahwa kecantikan yang sesungguhnya bersumber dari dalam. Mereka merubah kecantikan fisik tapi tak miliki inner beauty. Jika memilikinya, tentu mereka tak meremehkanmu. Pola pikir merekalah yang seharusnya diubah.

"Sayang, perkenalkan ini Hindun," binar mata Bang Reza lebih hidup saat mengenalkanmu padaku.

Kau melempar senyum kepadaku, lantas menjabat tanganku. "Selamat ya! Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warohmah."

"Aamiin! Terima kasih," ucapku dan Bang Reza hampir bersamaan.

Ada yang lain dari tatapan Bang Reza kepadamu. Sebuah kekaguman yang berlebih. Seolah ia sedang menatap bidadari. Aku cemburu pada hari pertama menjadi istrinya. Bukan cemburu buta, hanya iri yang mendalam. Ia tak pernah menatapku seperti menatapmu.
*****

Bang Reza memang tak pernah menyebut namamu, namun naluriku sebagai wanita mengatakan bahwa namamu telah terpatri di hatinya, sebelum aku menjadi istrinya. Betapa tidak, Bang Reza adalah sosok lelaki sempurna di antara lelaki yang nyaris sempurna. Ia memiliki pesona yang mampu membuat wanita-wanita meminggirkan rasa malun hanya untuk cari perhatiannya. Ia sudah mapan sejak jauh-jauh hari sebelum kuliahnya selesai.

Kedewasaan membuatnya bijak dalam memimpin berbagai organisasi kemahasiswaan dan menggantikan peran ayah dalam keluarganya. Kecerdasannya tak ada yang meragukan. Pergaulannya luas, seluas pandangannya dalam menatap kehidupan.

Tapi seperti yang kau tahu, ia rendah hati. Suatu hari, ketika aku belum menjadi isterinya, ia sempat berbagi rasa denganku. Kami memang dekat sejak kecil.

"Aku belum bisa menjadi lelaki salih," katanya. "Wanita salihah hanya untuk lelaki salih, bukan?"

Meskipun kala itu masih belia, aku bisa menangkap gelombang kesedihan yang terpancar dari mata elangnya. Ia seolah ingin berkata bahwa  ada wanita salihah yang sulit digapainya. Atau barangkali ia takut untuk menggapainya?

Begitulah, hingga usianya genap 25 tahun, ia masih mengunci rapat pintu hatinya. Padahal, ia bisa dengan mudah mendapatkan gadis-gadis yang lekukan tubuhnya membuat mata lelaki sulit berkedip. Pun tak sukar baginya meraih perempuan-perempuan berotak encer untuk mengisi hari-harinya yang cemerlang. Namun ia lebih menuruti saran ibunya untuk menerima perjodohannya denganku.

Aku hanya perempuan kebanyakan. Tak ada yang istimewa pada diriku. Terlalu naif jika aku mempertanyakan cintanya, sedangkan sejak menghalalkan jiwa ragaku untuknya, ia tak pernah melalaikan tugas sebagai suami. Ia mencintaiku bukan dengan kata, tapi mewujudkannya dengan perlakuan. Kehangatannya menyelimuti jiwaku yang menggigil, karena pernah meragukan ketulusannya.

Pernah meragukan ketulusannya adalah hal gila yang pernah menggerogoti otak picikku. Pertanyaan-pertanyaan konyol menenggelamkan akal sehatku. Apakah mungkin seorang dosen bergelar doktor mau menerima perempuan lulusan SMA?

"Aku terlalu sederhana untukmu, Bang!"

Kata-kata itu terlalu sering kulontarkan pada bang Reza. Aku sadar itu tak perlu, sangat tak perlu! Seperti melempar batu di air yang tenang. Namun ketenangan emosinya tak pernah terusik. Ia memahami keresahanku.

"Aku mencintaimu dan menerimamu apa adanya."

Selalu itu yang ia katakan  dalam menyikapi kecerewetanku. Dan aku memang terlalu cerewet kepadanya.

"Tapi aku wanita biasa!"

"Aku ingin kau tetap menjadi wanita biasa. Jangan pernah berubah hanya karena kau minder dengan apa yang kumiliki."

"Kenapa?"

"Apa yang pernah aku raih belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang kurasakan."

"Memangnya apa yang kau rasakan?"

"Aku merasa berarti sejak menikahimu."

"Alasannya?"

"Tak penting lagi sebuah alasan ketika aku merasa bahagia."

"Aku..."

Ia meletakan telunjuknya di bibirku. "Apakah kau bahagia dengan rumah tangga kita?"

Aku mengangguk.

"Menyukai sekuntum bunga yang indah itu mudah. Tapi, mencintai selembar daun itu tak semua orang bisa."

Kukunci bibirku, namun mataku menanyakan maksud kalimatnya.

"Mencintai orang yang luar biasa itu biasa. Tapi, mencintai orang biasa itu luar biasa."

Begitulah, Hindun. Aku menyesal telah berlaku melankolis. Aku terlalu takut tak bisa membahagiakannya karena hanya seorang wanita biasa. Sebagai wanita, kau pasti paham kegundahan hatiku.

Tapi kenapa Bang Reza tak pernah menatapku seperti yang ia lakukan padamu? Tentu saja aku tak akan berani menanyakan padanya.

Menanyakan padamu? Tidak, itu ide gila. Sebesar apa pun cemburuku padamu, tak akan kulakukan kekonyolan itu. Cukup sekali aku terjerat penasaran yang tak beralasan, yang membuat malam-malamku terasa panjang.

Kali ini aku harus mengenalmu secara langsung. Seperti apakah wanita yang tampak menjadi bidadari di bolamata Bang Reza?
*****

Rumah tipe 36/80 begitu teduh dengan bunga-bunga di teras yang sempit. Lantai ubin tak kalah mengkilap dengan keramik mahal. Satu set meja kursi tua tertata rapi, menimbulkan kesan luas. Di sudut ruang tamu, berdiri lemari khas tahun 80-an, pintunya didominasi kaca bening sehingga buku-buku tebal di dalamnya tampak tersusun rapi. Di dinding, berbagai piagam terpajang. Baru kutahu ternyata kau pernah menjadi dosen.

"Maaf, berantakan. Maklumlah rumah tua warisan mertua. Apalagi di dalamnya ada dua balita yang suka membuat rumah seperti kapal pecah," katamu merendah.

"Tidak kok, rumah mungil ini terkesan luas dan asri. Kau pandai menatanya," pujiku.

"Biasa saja kok!"

Kau tersenyum manis, gigi-gigimu yang putih rapi terlihat. Rambutmu yang ikal mayang tergerai sebahu, beberapa helainya menutupi lesung pipimu. Belahan dagu menambah manis wajahmu. Parasmu biasa-biasa saja, hanya memang di atas rata-rata, namun aura yang terpancar bisa meruntuhkan hati laki-laki.

"Mbak Hindun, seorang dosen?"

"Pernah, tapi semenjak menikah sudah tak mengajar lagi! Mendidik dan membesarkan anak lebih menyenangkan ketimbang jadi dosen. Biar mereka saja nanti yang jadi dosen."

Aku menoleh ke arah dua anak lelakimu yang sedang bermain pedang-pedangan. Anakmu yang kecil, sepertinya belum TK. Ia menghunus pedang ke kepala kakaknya yang usianya tak terpaut jauh dengan adiknya. Sang Kakak sigap menangkis dengan pedang di tangannya. Pedang adiknya jatuh. Sebelum Sang Adik sempat mengambil pedangnya, pedang kakaknya terlebih dahulu menusuk perutnya. Sang Adik berlagak kesakitan sambil memegangi perut. Wajahnya meringis, sehingga gigi susunya yang mulai habis terkuak. Kemudian ia pura-pura ambruk. Aku terpingkal-pingkal menyaksikan adegan tersebut.

"Anak-anak yang manis!" seruku. Serta merta aku jadi teringat anak semata wayangku yang selalu merengek minta adik.

"Anak-anak kalau lagi rukun menyenangkan," ujarmu. "Kalau lagi berantem bisa menguras kesabaran."

"Namanya juga anak-anak," selorohku.

Kau mengangguk sepakat. "Begitulah!"

Kita menghabiskan waktu hampir dua jam untuk mengobrol tentang anak. Aku kagum padamu karena lebih memilih mencurahkan perhatian kepada keluarga dari pada berkarir, terlebih lagi anak-anakmu masih balita.

Kau tak ingin menyerahkan perawatan anakmu kepada baby sitter, atau menitipkan anak kepada ibumu, sementara kau sibuk di luar. Kau juga menuturkan bahwa dibanding bekerja, mengurus anak dan suami lebih repot, namun kau lebih menikmati dan menjalaninya dengan ikhlas.

Hingga tanpa terasa, azan asar berkumandang. Kita salat berjamaah. Selepasnya, aku tinggalkan kau sendiri yang masih khusyuk berdzikir. Aku menemani anak-anakmu sambil menunggumu untuk pamit pulang.

Sungguh aku tercengang melihatmu. Mendadak aku kehilangan kata-kata saat melihat penampilanmu yang berbeda dari sebelumnya. Wajahmu terpoles make-up, bibir begincu, rambut tersisir rapi. Gaun yang kau kenakan juga tampak mewah. Kalung emas berliontin melingkar di lehermu. Pokoknya lebih anggun dan memesona.

Ketika menghadiri resepsi pernikahanku, saat semua perempuan ingin terlihat paling cantik, kau tampil apa adanya. Kini di rumahmu sendiri, kau merias diri dan ingin terlihat menarik.

“Mau pergi?” tanyaku.

Kau menggeleng. “Ngga kemana-mana. Cuma nunggu suami pulang!”

Aku terpaku, nyaris tak percaya dengan penuturanmu. Tiba-tiba, aku teringat binar bolamata Bang Reza saat menatapmu. Sekarang aku tahu kenapa kau tampak seperti bidadari di matanya. Ia mengagumi seorang wanita yang kecantikannya hanya untuk suami, bukan untuk konsumsi publik.
*****

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Inner Beauty"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.