Sakura Mekar Di Langit

Ketika Emak Diam

Cerpen Ketika Emak Diam oleh Akhmad Al Hasni


Entah bagaimana caranya roda empat warna kulit telur bebek punyamu itu bisa mendarat mulus di depan kandang kambingku. Jalan setapak menuju gubugku terlampau terjal untuk dilalui. Kontur tanah tidak rata, tanah liat bercampur kerikil, yang pada musim penghujan menjadi becek. Belum lagi jika berpapasan dengan sepeda, roda kirimu harus mepet ke bibir selokan air, berhenti sejenak, sampai sepeda bisa melenggang dengan sukses.
Lima ekor kaki empat berkulit gembel yang tengah bercengkerama merasa terusik, sehingga deruman suara knalpot dibalas dengan embikan yang saling bersahutan. Mereka berlompatan ke sana kemari, merasa kedamaianya terganggu.

Kambing-kambing piaraan Emak baru kali ini melihat mobil. Wajar jika mereka merasa terancam. Sejak lahir, mereka hanya mengenal Emak, Bapak, aku, dedaunan dan rerumputan. Jika bernasib baik, mereka akan bertemu mantri hewan yang saban dua bulan sekali mengecek kesehatan mereka.

Jangankan kambing-kambing itu, aku saja baru kali ini melihat mobil sebagus itu. Yang aku lihat sebelumnya hanya mobil bak terbuka dan Kijang Super milik Pak Kades. Itu saja tak pernah sampai mampir di halaman gubugku.

Hanya hitungan detik, tiga anak kecil yang semuanya bertelanjang dada mengerumuni mobil mewahmu. Orang pelosok memang kadang bikin malu. Kulit legam mereka tampak jelas di badan mobil yang mengkilap. Seorang anak berambut keriting menyisir rambut dengan jari-jari tangannya. Kepalanya hanya berjarak beberapa senti dari kaca belakang. Dua temannya mengelilingi mobil dengan tatapan seperti melihat piring terbang. Kendaraan bermotor mungil tersebut memang sama dengan piring terbang; sama-sama belum pernah mereka lihat sebelumnya, bahkan di televisi sekali pun.

Aku yang meskipun hanya gadis desa lulusan SMP, tahu bahwa itu mobil build-up yang jarang sekali beredar di jalan raya. Tidak sembarangan orang bisa memilikinya. Konon pajak kendaraan pertahunnya bisa untuk membeli bebek Jepang. Benarkah? Dan berarti kau bukan orang sembarangan.

Pintu depan kanan terbuka. Kau keluar dari dalam mobil, menutup pintu kembali, lantas berjalan menuju dengan diiringi bunyi bip bip yang sangat nyaring, membuat ketiga anak kecil di belakang mobil tersentak. Satu di antaranya sampai tunggang langgang ketakutan karena tangannya sempat menyentuh kaca. Ia mengira itu akibat ulahnya, padahal itu hanya bunyi alarm.

Kau berjalan hati-hati. Hak sepatumu yang tinggi tidak cocok menapak di tanah lembek. Sesekali kau menghindari ceceran kotoran kambing yang belum sempat aku singkirkan. Pandanganmu beredar, menelanjangi rumah papan kuno berbentuk joglo. Ada kegamangan terpancar dari sorot matamu. Kau sempat terhenyak ketika tatapanmu mendarat di mataku. Sejenak kau menghentikan langkah. Mata kita saling bersirobok, lantas meneruskan langkah mendekatiku.

"Permisi! Apa benar ini rumah Mbok Darmi?" tanyamu ramah dengan dialek seperti yang ada di sinetron.

"Benar, tapi Emak masih di sawah," jawabku bingung.
Buruh tani seperti Emak jarang kedatangan tamu. Biasanya hanya Mbok Dinah, tetangga sebelah, itu pun bukan bertamu, hanya  ikut numpang nonton tetevisi. Kadang juga Bu Aini, yang sering menggunakan tenaga Emak untuk menanam padi. Pernah juga Aji, cowok sok gaul yang kelihatannya naksir padaku. Satu lagi, Haji Imron! Tapi juragan beras itu terakhir kali ke rumah ini tujuh tahun silam. Setelah lamaran untuk menjadikan Emak sebagai istri ketiganya ditolak, ia tak pernah lagi hidung belangnya di rumah ini.

"Perkenalkan, namaku Mei," kau mengulurkan tanganmu yang putih mulus.
Sumpah! Aku minder untuk menjabat tanganmu. Namun kerjap mata beningmu perlahan mengikis ragu. "Namaku Juni!" kataku gugup. Aku jengah karena telapak tanganku kasar saat bertemu telapak tanganmu yang halus dan lembut.  Sialnya, kau semakin erat menjabat tanganku. Matamu berbinar terang, menatap wajahku penuh selaksa. Darahku berdesir, seperti ada sesuatu yang menjalar dalam hati. Ada apa ini?

"Aku seperti melihat diriku sendiri!" katamu lirih.

"Maaf?"

Kau menggeleng pelan, kemudian memandangku dari kerudung sampai sandal jepitku. Ada yang anehkah dengan gadis kampung sepertiku? Atau kau tak pernah melihat sebelumnya?
Terdengar bunyi dari dalam tas yang tergantung di bahumu. Kau mengambilnya. Telepon genggam? Bukan! Teleponmu tak bisa digenggam. Itu tablet yang layarnya seluas buku tulis. Kau mengusap-usapnya beberapa saat, tersenyum-tersenyum sendiri, membuat bulu kudukku merinding. Itulah alasan kenapa aku malas memiliki telepon genggam, aku tak mau senyum-senyum sendiri.

Suasana canggung menjadi jarak antara kau dan aku. Kita berdiri saling berhadapan. Kau sibuk dengan tablet, aku sibuk dengan rasa bingung. Otakku bekerja keras, mencari jawab kenapa makhluk cantik dan kaya bisa terdampar di kampung ini, mencari Emak pula? Sampai-sampai aku lupa untuk mempersilakanmu masuk. Untuk yang satu ini aku ragu apakah kau mau berada dalam gubug berlantai tanah atau tidak.

"Mbak, silakan masuk sambil menunggu Emak!" kataku yang disambut dengan anggukan.

Tanpa risih kau duduk di kursi jati tua. Pandanganmu menyusuri setiap sudut ruang tamu tanpa kedip, kemudian kembali melempar senyum. Suasana canggung berpindah dari halaman depan ke dalam gubug. Kecanggungan yang bertepuk sebelah tangan kurasa, hanya aku yang merasakannya. Kau begitu santai dan tampak menikmatinya.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa mbak ingin ketemu Emak?"

"Jika benar ini rumah rumah Mbok Darmi, maka bisa kutebak kamu anaknya!"
Alih-alih menjawab, kau malah main tebak-tebakan. Apakah itu etika orang kaya? Menyebalkan!

"Mbak, dari mana?"

"Panggil aku Mei. Aku dari Jakarta," ujarmu. "Boleh aku panggil kamu, Juni?" Aku mengangguk. Kekakuanku sedikit mencair demi melihatmu yang kelihatan betah. Untuk ukuran orang kota sepertimu, itu sangat aneh. Biasanya orang kota risih berada di ruangan gelap dan pengap. Apalagi berada dalam rumah yang lebih pantas disebut gubug. Ketika angin menerobos masuk, bau kotoran kambing menyeruak, memenuhi ruangan. Hey! Kau bahkan tak menutup hidung.

"Maaf, apakah menurutmu aku mirip denganmu?"

Aku tergelak, geli rasanya mendengar pertanyaanmu. Jelas sekali beda. Terlepas dari polesan make-up, kulitmu putih mulus, aku kuning kusam. Bibirmu tipis, aku sedikit tebal. Lehermu berjenjang, aku polos. Dahimu lebih lebar dibanding dahiku. Persamaannya hanya bentuk wajah yang oval dan mata yang sama-sama cokelat. Bahkan kau tampak lebih muda dua tahun dariku.

"Tidak! Seperti langit dan bumi," jawabku.

"Postur tubuh, bentuk wajah, mata, hidung dan suara kita sama. Tidakkah kau menyadarinya?"

Aku menggeleng.

"Namamu Juni, lahir tanggal 1 Juni 1995 di Jakarta. Ayahmu Hendrawan, ibumu Rihana."
Kembali aku tergelak. "Prediksimu mengenai tanggal lahirku tepat, tapi Ayahku Waluyo, ibuku Darmi. Dan aku lahir di kampung ini."

Kau menatapku serius. "Apakah orangtuamu tak pernah menceritakan jati dirimu yang sebenarnya?"

Aku mengernyit bingung. "Aku tak paham maksudmu."
Kau diam, menatapku aneh. Aku membisu tapi pikiranku bergerak secepat kilat, mencoba mencerna pertanyaanmu. Perasaanku jadi tak enak. Hening menyergap selama beberapa menit, sampai embikan kambing memecahkannya.

Emak pulang membawa segulung rumput untuk makan siang peliharaan kami. Wanita berusia 41 tahun itu memberi salam. Wajah letihnya mencoba memasang senyum, meski raut bingungnya tak dapat disembunyikan ketika melihatmu. Ia meletakan capingnya di atas meja, lantas menyalamimu dengan pandangan penuh tanya.

Kau memperkenalkan diri dengan ramah. Emak menyuruhku membuat minuman. Kutinggalkan kalian untuk merebus air, lalu pergi ke warung membeli gula.

Saat kembali ke ruang tamu, kau dan Emak serempak bungkam. Dua pasang mata memandangku dengan cara yang berbeda. Kau lebih sumringah dari sebelumnya, sementara Emak seperti menyimpan sesuatu di balik tatapan teduhnya.

Sejak meninggalkan kalian, pikiranku dipenuhi prasangka buruk. Pertanyaan dan pernyataanmu yang aneh membuatku menduga-duga bahwa ada yang tak beres dengan kelahiran dan identitasku. Sempat terbersit di pikiran jika aku bukan anak kandung Emak. Faktanya aku tak memiliki kemiripan dengan kedua orang yang sejak kecil kupanggil Emak dan Bapak.

Selalu ada kemungkinan, seperti di sinetron-sinetron kejar tayang yang memuakan, tiba-tiba aku dipertemukan dengan saudara kandung setelah puluhan tahun terpisah. Kemungkinan kedua adalah aku dan kamu tertukar. Kau sebenarnya anak Emak dan aku anak kedua orang yang merawatmu. Kemungkinan ketiga, kita sama-sama  anak Emak, kau datang ke sini mencari ibu kandungmu.

"Duduklah, Nduk! Ada yang ingin Emak sampaikan," suruh Emak.

Aku baru sadar telah mematung cukup lama sambil memegang baki. Kusuguhkan minuman ke atas meja dengan mulut terkunci. Bibirku sulit menyungging senyum. Mendadak hatiku sumpek, apalagi jika melirik ke arahmu dan Emak. Baiklah, aku akan duduk dan mengarkan apa pun yang Emak katakan. Siap atau tidak, aku harus siap.

"Maafkan Emak, Nduk!" ucap Emak dengan nada berat. "Seharusnya Emak terus terang sejak kau masih kecil. Tapi ada alasan kuat kenapa rahasia ini harus disimpan. Sebenarnya kau... kau.."

"Bukan anak Emak?" kupotong kalimat Emak yang menggantung. Jantungku seperti akan berhenti ketika mengucapkannya. "Benar begitu?"

Kutatatap tajam matamu, kau menunduk. Ingin kumaki wajah cantikmu, tapi percuma. Kemudian kutatap lekat-lekat mata Emak yang berkabut, ia hanya bergeming.

"Katakan saja yang sebenarnya, Mak! Aku tak akan menyalahkan siapa-siapa. Jika benar begitu, aku tetap akan berada di sisi Emak, sampai kapan pun."
Emak menjawab dengan airmata. Kepalanya seperti ditopang tugu monas, sehingga tak sanggup untuk mengangguk. Emak akan menggeleng jika dugaanku salah. Tapi sampai airmatanya mengalir deras, ia masih diam.

"Kita anak kembar, Juni! Aku lahir tanggal 31 Mei pukul 23:54 WIB. Sementara kau lahir sebelas menit setelahnya," katamu mencoba menjelaskan.

"Aku tak butuh penjelasanmu. Aku hanya ingin jawaban Emak!"
Emak masih diam. Bibirnya bergetar, menatapku dengan rasa bersalah yang dalam.

"Ibu kita mengalami banyak pendarahan, nyawanya tak tertolong setelah kau lahir. Sementara ayah kita sudah tiada, dua bulan sebelum kita lahir," Kau masih saja bicara meskipun tahu aku tak menghiraukannya.

"Aku ingin dengar dari mulut Emak! Katakan sesuatu, Emaaak!" ratapku seperti anjing melolong.

Mata Emak terpejam. Mendadak aku membencinya. Bukan hanya karena ia menyimpan rahasia selama dua puluh tahun, tapi karena ia tak sanggup mengatakan kalau aku bukan anak kandungnya. Serta merta kakiku gemetar. Tubuhku terasa lemas.

"Jangan paksa Emak, Jun. Beliau telah merawatmu dengan kasih sayang seperti anak sendiri. Kamu beruntung diadopsi orang seperti Emak. Meskipun bukan orang kaya, tapi kalian hidup bahagia. Sedangkan aku?"

"DIAM!" hardikku kepadamu. Airmataku akhirnya tumpah. Sejak kecil aku selalu bermanja dengan Emak. Mengagungkannya sebagai wanita mulia. Menjadikannya tempat suka dan duka. Melarikan kepadanya semua masalah, mengabarkan ketelinganya tentang bahagia. Kini tak bisa kubayangkan jika benar bahwa aku bukan anak kandungnya.

"Aku memang hidup dalam kemewahan. Tapi mereka tak pernah akur. Papaku punya banyak simpanan. Mamaku depresi sampai pernah mencoba bunuh diri." tangismu meledak. Aku tak peduli. Aku hanya ingin jawaban Emak.

Aku luruh dan bersimpuh di kaki Emak. Kucium kakinya. "Apakah ucapan Mei benar? Jawab, Mak!" tanyaku sambil menahan isak.

Emak masih diam. Tubuhnya berguncang. Telapak tangannya yang kasar menyeka airmataku dengan lembut. Ia menatapku lekat, lantas membenamkan kepalaku di kain yang melilit tubuhnya. Aku sangat mengenalnya. Teramat mengenalnya. Ia hanya bisa diam untuk menjawab sesuatu yang bisa melukai perasaanku.

"Aku anak Emak. Bukankah begitu, Mak?"
Emak mencium kepalaku masih setia dalam kebisuannya. Itu adalah jawaban yang tegas.
*****

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Ketika Emak Diam"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.