Sakura Mekar Di Langit

Muka

Cerpen Muka Oleh Akhmad Al Hasni


Jangan menilai handphone dari casing-nya. Ungkapan bebas itu melekat erat di otakku sejak mengenalmu. Eratnya seperti perangko yang menempel di sampul surat, yang sangat sulit lepas tanpa mengoyak kertas sampul surat yang ditempelinya. Begitu melekatnya, sampai-sampai, ungkapan itu selalu terngiang, setiap kali kumelihatmu.
Masih jelas dalam memory eksternal di kepalaku, kau mengusap-usap layar telepon pintar 7 inchi, bermerek mirip namamu; Samsul, sambil berjalan mendekati Grand Vitara. Sampai di dekat mobil buatan Jepang tersebut, kau berhenti sejenak, pupilmu membesar, lantas tersenyum sendiri, tanpa memedulikanku, yang sedang berjalan mendekatimu. Aku hanya ingin menanyakan alamat. Karena kau adalah orang yang terdekat dalam jarak pandangku, maka aku ingin minta tolong padamu.
Kau menoleh dengan tatapan acuh, aku berhenti, menatapmu bimbang. Dengan jarak kurang dari dua meter, kupikir kau akan peka, setidaknya waspada. Tidak, kau acuh saja, seperti orang pelit yang sedang berhadapan dengan pengemis. Adegan yang paling menjengkelkan adalah ketika jempolmu memencet tombol alarm sampai mobil di dekatmu berbunyi bip bip, lantas kau masuk ke mobil. Sebelum menutup pintu, kepalamu menyembul, mata sipitmu mengerjap, seolah memberi isyarat kepadaku untuk mendekatimu. Aku acuh. Kau turun dari kursi mobil.
"Sepertinya, ada sesuatu yang ingin kau tanyakan. Benarkah dugaanku?"
Jika ada lagi orang di dekatku, aku pasti akan menggeleng mantap, memandang kesal kepadamu, kemudian berlalu tanpa sepatah kata. Di sini, di depan sebuah bangunan menyerupai toko, di mana hanya ada kau dan aku, maka rasa kesal harus ku tanggalkan, agar aku tak tersesat lagi hanya karena alamat yang tak jelas. Aku membutuhkanmu untuk menunjukkan alamat yang kutuju.
"Pak, tahu alamat ini?" kusodorkan secarik kertas penuh lipatan kepadamu.
Setelah membaca kertas dariku, jarimu menunjuk bangunan berbentuk seperti toko. Sebenarnya dari tadi aku sudah curiga, ini alamat yang kucari, hanya saja, dalam otakku terbentuk bayangan sebuah toko material, lengkap dengan segala aktivitasnya. Kenyataannya, bagunan itu kosong tanpa kegiatan apa pun.
Aku diberi pekerjaan oleh Pak Unggul untuk mengurus usaha gypsum-nya. Pekerjaan itu aku dapat setelah bapakku mengemis kepada Pak Unggul yang memiliki banyak usaha. Karena yang melamar kerja adalah bapak, maka aku tak pernah sekali pun bertemu dengan Pak Unggul. Semua informasi, dari mulai alamat tempat kerja sampai tugas yang harus ku lakukan, kudapat dari mulut bapak. Sialnya, di samping aku tak tahu seluk-beluk kota ini, aku juga buta tentang gypsum. Menurut bapak, gypsum itu berhubungan dengan konstruksi rumah.
Entah apa yang menjadi dasar pertimbangan Pak Unggul, sehingga begitu yakin memercayakan usaha gypsum-nya kepada orang yang tidak tahu seluk beluk jenis usahanya. Apakah karena beliau sudah mendengar tentang kecakapanku dalam memimpin puluhan salesman elektronik? Atau karena beliau percaya bahwa sarjana ekononi yang kusandang bisa mendongkrak omzet perusahaannya? Sementara, aku mencium bau nepotisme. Bapak adalah teman Pak Unggul sejak SMP.
Menggelikan, ketika aku harus memulai pekerjaan ini dengan langkah awal menemukan tempat kerja, kemudian bertemu dengan seseorang bernama Samsul.
Aku masuk ke bangunan yang kau tunjuk. Tak ada siapa-siapa, hanya ada tumpukan papan tipis yang bentuknya seperti triplek tebal. Di sudut sebelah dalam terdapat rak besar berisi logam ringan  yang panjangnya sekitar 4 meter. Di sudut sebelah depan terdapat tumpukan karung berlogo cornice compound.
Belum hilang kebingunganku, kau masuk sambil mendekatkan handphone di telingamu sambil berbicara dengan seseorang, setelah itu kau mendekatiku.
"Ada perlu apa, Mas?" tanyamu.
"Saya disuruh Pak Unggul untuk menemui Pak Samsul."
"Saya Samsul."
Mataku berbinar. Rasa lelah setelah dua kali bolak-balik antara Beji-Depok, berangsur hilang. Rupanya, kau orang yang harus kutemui. Pastilah kau orang kepercayaan Pak Unggul.
"Tunggu sebentar, silakan duduk. Saya akan kembali lagi," katamu tergesa-gesa. Kembali, kau mengeluarkan telepon pintarmu, mengelus-elus layarnya, lantas pergi begitu saja.
Jika waktu itu tahu kau hanya seorang supir, aku tak akan sudi menunggumu sampai berjam-jam. Mungkin juga, jika kau tahu aku akan menjadi atasanmu, kau tak akan berani sok penting dan berlagak seperti orang kaya. Beruntung, aku bukan pendendam. Aku memaklumi orang-orang sepertimu, ingin tampak bonafid meski kenyataannya berbanding terbalik. Tapi orang-orang sepertimu kebanyakan bermuka tebal, banyak gaya, sedikit rasa malunya.
Kau sangat menikmati posisimu yang mendadak penting. Sejak kedatanganku, kau tak hanya menjadi sopir, namun juga penghubung antara aku dan Pak Unggul. Tentu saja ini tak efektif. Sungguh repot, ketika komunikasi harus menggunakan cara manual seperti tempo doeloe. Namun Pak Unggul adalah tipe orang yang tak mau repot menggunakan teknologi. Meskipun memiliki banyak perusahaan kecil, namun beliau jarang memanfaatkan teknologi. Beliau tak mau membagi nomor telponnya kecuali kepada kerabat. Terlebih lagi, beliau memang tidak terjun langsung dalam usahanya.
Muka tebalmu pada akhirnya berakhir mengenaskan, kau mendadak kehilangan muka ketika dimutasi dari sopir pribadi menjadi sopir pengantar barang ke proyek dan pelanggan. Dan mukamu semakin coreng-moreng ketika semua orang yang kau kenal tahu bahwa telepon pintarmu hanya replika, alias supercopy, alias bukan asli, alias palsu.
Ilham adalah togoh antagonis yang berperan besar membongkar kepalsuan telepon pintarmu. Bagi sebagian orang yang sebal dengan gayamu, tentu saja Ilham adalah pahlawan. Mereka percaya, kepalsuan-kepalsuanmu yang lainnya hanya tinggal menunggu waktu sampai terbongkar. Sejak itu kau begitu membenci Ilham.
Ilham sesungguhnya adalah teman akrabmu. Maka, tak ada sakit yang teramat sakit selain disakiti teman sendiri.
"Ngga nyangka, Ilham akan sejahat itu. Apa untungnya coba?" katamu curhat kepadaku. 
Awalnya aku memahami perasaan jengkelmu. Tapi semakin lama, kebencianmu terhadap Ilham, membuatmu sering menceritakan kejelekannya kepadaku, itu menjengkelkan! Setiap ada kesempatan, kau membuka semua sisi buruknya. Kau korek semua keburukannya, pokoknya semua yang ia lakukan, salah di matamu.
"Ilham itu bermuka dua," katamu. "Hati-hati bos!"
"Bermuka dua bagaimana?"
"Di depan, dia bersikap baik, tapi di belakang menjelek-jelekan kita."
"Kita?"
Kau melirik kanan kiri, lantas mencodongkan kepala ke depan wajahku.
 "Dia juga sering menjelek-jelekanmu, Bos!"
Aku mual, mendengar mulutmu yang bau jengkol menekan kata bos padaku. Aku tak suka dipanggil bos. Semua karyawan memanggilku Mas. Kau seperti ingin menjilatku.
Firasatku benar, selain menjelek-jelekan Ilham, kau juga berusaha mencari muka. Kau lebih rajin bila di depanku. Setiap pagi aku selalu mendapatimu tengah menyapu lantai, mengelap meja kerjaku, membersihkan semua yang sebenarnya sudah bersih, padahal itu bukan tugasmu. Anehnya, mobil yang seharusnya kau rawat, justru terbengkalai.
Mungkin kau berpikir, aku akan mudah dikelabui. Kau yang 3 tahun lebih tua dariku, mengira aku akan percaya begitu saja dengan siasatmu. Satu persatu, pekerjaanmu yang amburadul terbongkar, dari mulai menjalankan mobil secara ugal-ugalan sampai menyunat jatah bensin. Semakin aku memperingatkanmu, kau semakin berusaha ingin tampak baik di mataku.
"Kemarin, Ilham bilang bos pelit. Uang makan tidak pernah naik, padahal harga BBM naik terus."
Aku cek di lapangan, laporanmu benar. Ada dua saksi yang membenarkan ucapanmu. Namun, aku tidak serta-merta menegur Ilham karena kuanggap itu kritik.
"Ilham bilang bos masih jomblo karena terlalu pilih-pilih."
Dari dua saksi yang kutanyai, ucapanmu benar.
"Dia bilang bos ngga becus memimpin perusahaan ini. Bos tak mengerti tentang gypsum."
Tiga saksi membenarkan ucapanmu.
"Kemarin saat makan siang, Ilham mengatakan kepada setiap karyawan, kalau bos semena-mena, tak mau mendengar keluhan karyawan."
Lima karyawan mengakui telah mendengar ucapan Ilham tersebut.
Laporanmu tentang ucapan-ucapan Ilham mengenaiku benar. Kau tak mengada-ada. Namun perlu kau ketahui, sama sekali aku tak terkesan dengan laporanmu yang provokatif. Kau sedang membalas dendam kepadanya. Jika kau ingin membalas sakit hatimu menggunakan tanganku, maka dengarlah baik-baik: AKU TAK SUDI!
Perkara Ilham sering mengucapkan sesuatu yang membuat telingaku panas, itu hal berbeda. Aku menganggapnya kritikan. Aku tak kan serta merta kebakaran jenggot hanya karena ulah Ilham yang hanya berani mengkritik di belakang. Namun demikian, aku perlu mengundangnya untuk mengklarifikasi ucapannya. Kritik yang baik adalah yang disampaikan secara langsung, bukan dengan mengumbarnya di belakang.
Mungkin kau benar, selama ini Ilham telah bermuka dua. Di depanku, ia adalah seorang yang bersikap penurut, selalu yess boss, dan tak pernah berani mengemukakan pendapat setiap kali kuberi kesempatan. Tapi, aku juga tidak mau memiliki karyawan yang suka menjilat atasan dan menyikut teman sendiri. Praktek bermuka dua Ilham dan sikap mencari muka yang kau lakukan harus dilenyapkan dari perusahaan ini. Maka, bermusyawarah antara aku, kau dan Ilham, harus segera diadakan.
"Benarkah di belakangku kau telah mengatakan bahwa aku jomblo yang pilih-pilih, pelit, tidak becus mimpin perusahaan dan semena-mena terhadap karyawan?" tanyaku kepada Ilham.
Pipi cekung Ilham menyemburat merah, matanya terbelalak, dahi lebarnya berkerut,  dan mukanya pucat. Bibirnya bergetar, ingin membantah, namun irama detak jantungnya yang tak teratur membuat kalimatnya menyangkut di tenggorakan.
"Saya tidak alergi dengan kritik. Katakan saja tidak usah takut," desakku.
Ilham melirik tajam padamu. "Pasti Samsul yang mengatakannya. Itu fitnah!"
Kau dengan senyum kemenangan berusaha santai menanggapi sangkalan Ilham. "Sudahlah, banyak saksi yang memberatkanmu. Mengaku saja!"
Keringat dingin mengalir deras dari dahi Ilham. Namun, orang sepertinya tak akan begitu saja mati kutu. Ia tak akan membiarkan dirinya hancur sendirian. Gelagatnya, ia akan menyeretmu menjadi teman pesakitan.
"Samsul berusaha mencari-cari kesalahanku. Semua yang kulakukan pasti jelek. Ia memang pandai mencari muka!" kata Ilham sambil menikammu dengan pandangan marah.
"Saya tanya kepadamu, apa benar apa yang kau katakan itu. Saya tak minta pendapatmu tentang Samsul!" ujarku menatap kedua mata Ilham yang merah padam.
Ilham menunduk. Kau tersenyum jahat.
"Samsul, benarkah kau berusaha mencari muka di depanku?" tanyaku padamu. "Selama ini, kulihat pekerjaanmu tak beres. Kau lebih suka mengerjakan sesuatu yang tampak di depan mataku, meskipun itu bukan pekerjaanmu."
Kau terperanjat, gugup, gemetar, lantas melempar mata merahmu ke arah Ilham. "Ini fitnah darimu! Jadi itu sifat aslimu hah? Selama ini kau terlihat baik di depanku. Dasar bermuka dua!"
"Samsul, saya berbicara padamu!" kutinggikan intonasi untuk mengingatkanmu.
Kau menunduk. Ilham menunduk. Aku mulai mual melihat muka kalian.
"Begini saja, saya tak akan memaksa kalian untuk mengaku, meski jelas-jelas kalian terbukti bermasalah dengan muka."
Kutarik napas dalam-dalam, bergantian kutatap kalian yang sama-sama menunduk dengan menyimpan dendam satu sama lain.
"Ilham, kau bermuka dua, jadi harus rela memberikan satu mukamu kepada Samsul yang selalu mencari muka. Bagaimana, apa kalian setuju?"
Kalian terperanjat dengan muka merah padam. Kompak sekali! Ah, kalian memang serasi.

Cerpen oleh Akhmad Al Hasni

0 Response to "Muka"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.